BONEK GAT (beritajatim.com) - Reputasi kelompok suporter
sepakbola biasanya mengekor reputasi klub yang mereka dukung. Wajar
saja, karena suporter terbentuk belakangan setelah klub berdiri.
Pertumbuhan sebuah kelompok suporter sedikit-banyak berbanding lurus
dengan prestasi klub yang didukung. Semakin menjulang prestasi klub,
reputasi dan jumlah suporter akan semakin bertambah.
Namun dunia
sepakbola selalu menghadirkan anomali. Reputasi kelompok suporter tak
selamanya dibangun bersama dengan reputasi klub, bahkan bisa
melampauinya. Dalam konteks ini, suporter menjadi bagian yang terpisah
dari klub sepakbola yang didukung. Kelompok suporter adalah identitas
tersendiri.
Di Indonesia, saya melihat anomali ini pada kelompok
suporter Solo Pasoepati, kelompok suporter Jember Berni, kelompok
suporter Surabaya Bonek, dan kelompok suporter Malang Aremania. Empat
kelompok ini membangun reputasi dengan cara, keunikan, dan karakter
masing-masing.
Pendukung Persebaya Surabaya, Bonek atau Bondo
Nekat, membangun reputasi dengan cara yang berbeda. Boleh jadi kelompok
suporter ini adalah satu-satunya kelompok suporter dengan reputasi yang
dibangun oleh media massa. Bahkan mereka tidak menamakan diri mereka
sendiri. Media massa yang memberi nama kelompok ini.
Sejak awal,
suporter Surabaya adalah kelompok suporter cair. Mereka tidak punya
pemimpin tunggal dan tidak terorganisasi resmi. Basis pengelompokan
mereka adalah kampung atau kota asal jika mereka berasal dari luar
Surabaya. Identitas kelompok dengan basis kampung ini ditulis dalam
spanduk-spanduk yang dibawa ke stadion, seperti Arek Rungkut, Arek
Manukan, Arek Ngagel, Arek Mojokerto, Arek Jombang, dan lain-lain.
Jawa
Pos berperan besar dalam membangkitkan fanatisme terhadap Persebaya.
Sepulang dari menyaksikan pertandingan Chelsea di Stamford Bridge, Bos
Jawa Pos Dahlan Iskan merevolusi Persebaya dari luar. Ia memproduksi
ratusan ribu kaos, topi, syal warna hijau yang dijual dengan harga
murah. Jawa Pos juga menciptakan slogan 'Kami Haus Gol Kamu', dan
julukan bagi Persebaya: Green Force.
Kepala dengan seikat kain di
dahi dan mulut berteriak menjadi logo suporter Surabaya di era 1980-an,
dan bertahan hingga kini dengan beberapa perubahan modifikasi. Ini
menjadikan suporter Surabaya menjadi kelompok suporter yang memiliki
logo berbeda dengan klub yang didukung. Persebaya menggunakan logo buaya
dan hiu, maskot kota Surabaya.
Jawa Pos pula yang kemudian
menciptakan sebutan Bonek bagi suporter Persebaya. Inilah kelompok
suporter pertama di Indonesia yang bertandang ke stadion kota lain dalam
jumlah masif, hingga saat ini. Terlepas apakah prestasi Persebaya
tengah surut atau pasang, dan tanpa koordinasi. Terakhir, sekitar tiga
ribu orang Bonek datang ke Jepara untuk menyaksikan laga Persebaya
melawan Persijap.
"Fanatisme mereka ini melebihi penonton jenis
yang normal. Untuk pertandingan-pertandingan besar ke luar kota, mereka
memang benar-benar nekat menjual celana di pasar loak," tulis Dahlan
Iskan di sebuah artikel berjudul 'Bonek bin Chelsea', terbitan 2010.
Namun
media massa pula yang melekatkan citra buruk kepada Bonek. Setiap kali
terjadi kerusuhan yang melibatkan mereka, media massa menampilkan
liputan dalam skala melebihi liputan terhadap kerusuhan kelompok
suporter lain. Bahkan, Bonek beberapa kali menjadi tema pertunjukan
wicara (talk show) di televisi. PSSI juga pernah menurunkan tim untuk
menyelidiki fenomena Bonek. Coverage (peliputan) serupa tidak pernah
atau jarang dilakukan saat Bonek melakukan kegiatan sosial.
Namun
citra buruk ternyata tak banyak mengurangi pengaruh Bonek. Memang belum
ada survei khusus mengenai kelompok suporter di Indonesia. Namun sejauh
ini eksistensi komunitas ini masih bertahan, tak hanya di Surabaya,
namun juga di kota-kota di Jawa Timur. Beberapa waktu lampau, saat Piala
AFF 2010, beritajatim.com pernah menurunkan berita tentang tren
penjualan kaos tim nasional di Mojokerto. yang hanya bisa disamai dengan
penjualan kaos atribut Bonek dan Persebaya.
Reputasi Bonek
sampai ke Eropa. Sebuah majalah terbitan Jerman yang khusus memberitakan
suporter Ultras, Blick Fang Ultra pernah meletakkan Bonek sebagai
sampul edisi nomor 24 yang merupakan edisi khusus Indonesia. Di sana
Bonek tidak ditampilkan garang: foto seorang perempuan di tribun dengan
latar belakang seorang suporter menyalakan cerawat.
Komunitas
Bonek pun berangkat dari latar belakang sosial beragam. Berbeda dengan
anggapan sebagian pengamat sosial yang mengaitkan Bonek dengan akar
kemiskinan, Majalah Tempo pernah memuat artikel tentang Bonek yang
berlatar belakang sosial kelas menegah. Mereka juga rela membolos kerja
hanya untuk menyaksikan Persebaya bertanding.
Menarik, tak semua
Bonek luar Surabaya pernah menyaksikan Persebaya langsung di stadion.
Saya pernah berjumpa dengan seorang siswa kelas 3 SMP yang dengan bangga
mengaku Bonek di Jember. Ia mengaku tak pernah menyaksikan langsung
Persebaya. "Saya suka dengan Bonek karena rasa solidaritas dan
persaudaraannya," katanya.
Di sebagian besar kota di Jawa Timur,
komunitas Bonek juga mendukung klub sepakbola di kota setempat. Bonek
pada akhirnya bukan lagi menjadi kata benda untuk penyebutan suporter.
Lebih jauh, ini mengacu pada identifikasi semangat, keberanian, yang
melepaskan diri dari identifikasi klub
klik Blickfang Ultra
1 comments:
How to Play Pai Gow Poker | BetRivers Casino - Wolverione
Pai Gow Poker is an online https://septcasino.com/review/merit-casino/ version of a herzamanindir.com/ traditional table game in which ford fusion titanium players place bets in the background. Pai filmfileeurope.com Gow worrione.com Poker uses only the symbols from a
Post a Comment