Liem Tiong Hoo, Iyo Sarjana Iyo Persebaya


Saat ini tidak banyak yang tahu sosok Liem Tiong Hoo atau biasa dikenal dengan dr Hendro Hoediono. Tetapi jika kita bertanya pada penikmat Persebaya di era 40-an hingga awal 50-an, tentu nama tersebut sangat familiar. Maklum, beliau adalah pemain yang begitu tersohor di era tersebut. Di era itulah Surabaya memulai dominasinya dikancah sepakbola nasional sejak negara ini memproklamirkan kemerdekaan di pertengahan 1940-an.
Ketika kami menemui beliau di kediaman sekaligus tempat prakteknya di jalan Yos Sudarso, beliau menceritakan perjalanan karir sepakbola beliau.







“Sejak SD saya sudah suka sepakbola, biasanya pulang sekolah diajak teman-teman nonton bola di lapangan, kalau ada bola keluar saya dan teman-teman mengambilkan.”
Karena setiap hari memiliki rutinitas seperti itu lama kelamaan beliau menyukai permainan kulit bundar tersebut, beliau lalu menambahkan.
“Kemudian saya diajak gabung ke klub Tiong Hoa sekarang ganti nama jadi Suryanaga, sempat juga bernama Naga Kuning, dulu latihannya di lapangan yang sekarang sudah jadi Taman Remaja.”
Pria yang lahir pada 23 Oktober 1926 atau setahun lebih tua dari SIVB (Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond) yang merupakan cikal bakal Persebaya ini bercerita tentang persepakbolaan di era kolonial.
“Dulu SIVB kompetisinya di lapangan yang sekarang jadi Pasar Turi, sedangkan ada juga SVB (Soerabajasche Voetbal Bond) yang mainnya di Tambaksari.”

Berdiri Ki-Ka: Saderan, Ferdinandus, Mat Surip, Kek Kwie, Sidik, Peng Hwa.

Duduk Ki-Ka: Hassan, Liem Tiong Hoo, Stalder, The San Liong, Taihitu.

Beliau melanjutkan, “Kalau Tiong Hoa, HBS (Houd Braef Standt), THOR (Tot Heil Onzer Ribben), Exelcior, Ajax itu termasuk SVB. Saat itu pribumi yang main disana rata-rata orang sekolahan (kalangan akademis) seperti dr. (Achmad) Nawir yang main di HBS.”
Indonesia (Dutch East Indies) pernah ikut Piala Dunia tahun 1938 di Perancis. Liem muda mengingatnya,
“Dulu tahun 1938 kita lolos ke piala dunia tapi masih pakai nama Hindia Belanda, sebagian pemainnya berasal dari Surabaya seperti dr. (Achmad) Nawir. Saya ingat betul lha wong itu pas saya masih kecil. Saya dengerin beritanya lewat radio, kalo tidak salah dulu kita kalah dari Hungaria 6-0.”
After the 1938 World Cup, where they lost their only match 0-6 to eventual finalists Hungary on June 5th, the Dutch East Indies team toured the Netherlands, playing against a few club sides and a Dutch selection. Although the match against the Netherlands is not counted as an official international match for the hosts, both teams played with their full squad.

Data statistik Hindia Belanda di Piala Dunia 1938
Bakat besar yang beliau tunjukkan selama bergabung di Tiong Hoa membuat beliau dipanggil bergabung dengan Persebaya, ketika usia beliau masih 17 tahun yaitu pada tahun 1943. Sejak saat itulah nama beliau mulai meroket, berbagai turnamen baik di Jakarta, Bandung, Semarang. Semua trofi beliau bawa pulang. Beliau bercerita pada era tersebut (1940-1950an) Persebaya menjadi tim yang sangat ditakuti.
“Saat itu kita punya trio hebat dibelakang dan depan, kalau belakang itu Sidi, Sidik dan Saderan. Lalu kalau didepan ya saya, Tee San Liong dan Bhe Ing Hien. Kalau kami main itu lawan pada segan, karena hampir selalu menang dan jarang kalah.”
Pada saat itu, dari tahun 1949 sampai tahun 1952 Persebaya berhasil meraih gelar empat kali berturut-turut.
“Orang-orang itu pada tidak tahu kalau kita sebetulnya juara empat kali, dua juara perserikatan dan dua juara NIVU tapi waktu itu namanya VUVSI karena saat itu sedang ada pergolakan politik. Tapi yang mereka hitung hanya yang juara perserikatan saja.”
Novan Media Research mencatat,
Sebagaimana diketahui bersama, dalam catatan sejarah, kompetisi PSSI dimulai pada tahun 1931. Kompetisi itu biasanya diselenggarakan bersamaan dengan Kongres PSSI, kecuali pada 1937. Saat itu, Kongres PSSI mengalami pengunduran jadwal. Tempatnya pun berpindah: dari Solo ke Surabaya. Sementara kompetisinya tetap digelar di Solo yang putaran finalnya diikuti oleh Persib Bandoeng (juara District I), PSIT Tjirebon (District II), Persim Mataram (District III), dan Persis Solo (District IV).
Kompetisi itu berjalan normal hingga tahun 1941. Pada 1942 dan 1943, ketika masa “Pendudukan Jepang” kompetisi mengalami kendala. Sejarah Indonesia pun mencatat bahwa Jepang mulai menduduki “Indonesia” pada 8 Maret 1942.
Pada masa ini, terutama pada pasca kemerdekaan RI (17 Agustus 1945), para pemain bangsa Indonesia yang kebetulan harus berprofesi sebagai pejuang kemerdekaan harus mempertahankan kemerdekaan negerinya yang diambil alih kembali oleh Belanda dari tangan Jepang. Belanda pun ingin menguasai kembali.
Dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan, persepakbolaan NIVU bangkit kembali. NIVU masih menyelenggarakan kompetisi ISNIS/VUVSI (Ikatan Sepakbola Negara Indonesia Serikat/Voetbal Uni Verenigde Staten van Indonesie). Pesertanya, antara lain VBO Jakarta (pesaing VIJ/Persija sebagai anggota PSSI), VBBO Bandung (pesaing Persib), VSO Semarang (pesaing PSIS), dan SVB (pesaing SIVB/Persebaya). Dalam kompetisi NIVU pasca-RI berdiri yang hanya diselenggarakan sebanyak dua kali (1949 dan 1950) itu, SVB keluar sebagai juara dua kali berturut-turut.
SVB menjadi juara ISNIS 1949 dan 1950 serta SIVB/Persibaya/Persebaya menjadi juara Perserikatan 1951 dan 1952.

Berdiri Ki-Ka: Keis Elmensdorp, Tiong Khiem, Her Klouds, Pasqua (kiper), Peng Hwa, Saderan.

Duduk Ki-Ka: Hyan Bien, Liem Tiong Hoo, Hany Seeman, The San Liong, Janus Manuputty.

Situasi tim disaat beliau bermain saat itu sangat kondusif, karena Persebaya dikelola oleh orang-orang yang memiliki kapabilitas dalam mengelola sebuah tim sepakbola.
“Waktu itu ketuanya (Persebaya) dr.Soewandi, beliau itu orang Muhammadiyah. Beliau itu orangnya baik mas, saya bahkan dianggap anak angkat sama beliau. Beliau itu bapaknya kita semua.”
Kondisi kondusif di dalam tim menular hingga ke penonton bola pada masa itu,
“Kalau dulu penontonnya tertib mas, tidak pernah tawuran seperti sekarang. Dulu pernah tawuran sekali itupun dengan Marinir Belanda.”
Meskipun begitu mencintai sepakbola, beliau tidak meninggalkan pendidikan. Bahkan ketika beliau berada di puncak karir dengan memborong empat gelar nasional beliau juga tercatat sebagai mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Airlangga.
“Waktu saya masih SD rutinitas saya ya pagi sampai siang sekolah, sorenya main bola dan malamnya belajar. Tapi waktu kuliah memang agak susah membagi waktunya karena waktu itu sering main diluar kota.”
“Dulu ujiannya setahun tiga kali. Mei, Agustus dan Desember. Saya sering gagal ikut ujian karena jadwal main bola, gara-gara sepakbola juga kuliah saya akhirnya molor 3 tahun. Tapi untungnya bisa lulus.”
Penghargaan dari Presiden Suharto sebagai dosen yang berdedikasi diperolehnya, sambil menunjukkan piagam penghargaan tersebut beliau bercerita,
“Tahun 1950 saya mulai kuliah tahun 1960 lulus, tahun itu juga saya mulai ngajar di (Universitas) Airlangga sampai sekitar tahun 1970-an kemudian dapat penghargaan dari Presiden Suharto.”
Ketika kami bertanya cara beliau menyiasati antara karir sebagai pemain sepakbola dengan kehidupan akademisnya beliau menjawab,
“Waktu kuliah dulu saya sering bangun tengah malam dan belajar kira-kira sekitar jam 2-an malam. Tapi orang tua saya tidak tahu kalau saya setiap malem belajar.”
“Selesai yudisium orang tua saya bilang sambil berkacak pinggang seolah tidak percaya saya lulus, “Koen kok iso lulus iku yo opo????.


Plakat nama-nama lulusan di Gedung Fakultas Kedokteran UNAIR
Meski seorang pesepakbola, beliau juga seorang dokter. Sebuah pencapaian yang sangat luar biasa, mengingat tidak mudah untuk menjadi dokter dengan tingkat rutinitas perkuliahan yang sangat padat. Tidak hanya Sócrates saja yang bisa melakukan dua profesi sekaligus, sebelumnya Liem Tiong Hoo sudah melakukan.
Sócrates is a doctor of medicine, a rare achievement for a professional footballer (he is a graduate of the Faculdade de Medicina de Ribeirão Preto). Even rarer is the fact that he earned the degree while concurrently playing professional football.
Pada usia 28 tahun beliau resmi gantung sepatu, setelah beberapa waktu sebelumnya memulai mengurangi aktifitas latihan sepakbola. Beliau terpaksa melakukan itu karena saat itu sepakbola belum bisa menghidupi seseorang.
“Pemain sekarang itu enak mas, gajinya besar jadi bisa dibilang mereka bermain untuk uang. Kalau jaman saya dulu tidak, wong saya tidak digaji. Paling kalau pas main diluar kota dapat uang saku 5 gulden. Itupun hanya cukup dipakai buat jalan-jalan sama makan saja.”
“Waktu itu bertanding di Jakarta, saya dapat uang saku 5 gulden. Uang itu habis buat jalan-jalan dari hotel tempat saya nginap di daerah Pasar Baru ke Glodok dan beli semangkuk bakmie.”
Kejadian lucu dialami beliau ketika mengikuti sebuah turnamen di Kalimantan dan mendapat sebuah hadiah batu dari panitia, karena terpilih sebagai pemain terbaik.
“Waktu turnamen di Banjarmasin, saya terpilih jadi best player. Sama panitia saya dikasih batu. Batunya bagus mas, mungkin kayak batu permata. Tapi pas pulang ke Surabaya, batu tadi diminta sama pengurus, ya saya kasihkan wong saya main bola bukan demi uang saya juga tidak minta kompensasi.”
“Saya dulu juga pernah mendapat skors selama satu bulan dari klub. Waktu itu saya diajak tetangga kampung main bola diluar kota, mulai Pasuruan, Tuban, Lamongan dll. Waktu balik ke Surabaya saya diskors sama klub karena kalau sudah main buat klub tidak boleh bermain buat tim lain, ya saya terima mau bagaimana lagi.”
Di awal 50-an, tepatnya pada 27 Juli 1952 di Jakarta. Klub Nan Hwa (Hongkong) melawan timnas Indonesia, skor 2-2. Bertindak sebagai pelatih Nan Hwa, Lee Wai Tong, seorang pemain Nan Hwa ketika melawan tim nasional (timnas) PSSI pada 7 Agustus 1937 di Semarang, yang memiliki julukan “Sang Raja Bola Asia”.
Klub Nan Hwa (Hongkong) melakukan serangkaian pertandingan persahabatan, termasuk menghadapi SVB. Ketika giliran menghadapi SVB, Liem muda berhasil mengacak-acak pertahanan lawan dan mencetak satu-satunya gol balasan.
Dalam kunjungannya ke “Indonesia”, Nan Hwa bertanding sebanyak 18 kali.
Nan Hua vs HBS (Soerabaja) 2-1
Nan Hua vs SVB (Soerabaja) 1-1
Nan Hua vs Tionghoa (Soerabaja) 2-1

Terpikat dengan penampilannya beliau ditawari bergabung dengan tim tersebut, namun beliau menolaknya.
“Saya ini orang Indonesia bukan orang Tiongkok.”

Liem Tiong Hoo, The San Liong, Bie Ing Hien
Selain itu Liem juga pernah diajak bermain untuk klub Feyenoord di Belanda, tapi beliau menolak.
“Waktu itu pertandingan kompetisi internal Persebaya, kebetulan tim lawan memiliki pemain keturunan Belanda yang tingginya 190 cm lebih, diberi tugas khusus untuk menjaga saya. Seingat saya, dia dulu marinir pangkatnya kapten. Jaman dulu pangkat kapten sudah tinggi, tidak seperti sekarang jendralnya telecekan.”
“Walau saya dijaga ketat tapi dia tidak bisa menjaga saya dengan baik, karena saya kasih bola-bola bawah makanya saya menang. Kalau saya pakai bola-bola atas ya pasti saya yang kalah, setelah pertandingan beliau menawari saya supaya mau ke Belanda dan main buat Feyenoord. Jika saya mau saya bebas milih sekolah, selain itu biaya kuliah dan biaya hidup yang lain juga ditanggung. Tapi ya saya tolak, saya kan orang Indonesia bukan orang Belanda.”
Kami juga sempat bertanya kepada beliau tentang karir beliau di tim nasional, kami begitu terkejut sekaligus salut dengan sikap beliau. Saat itu diadakan seleksi tim nasional untuk Olimpiade 1952 di London, tim seleksi timnas PSSI meminta Liem bergabung dengan timnas. Saat itu Liem tidak bisa ikut seleksi lantaran kesibukannya di kuliah kedokteran.
“Saya menolak tawaran tersebut karena saya sudah jarang latihan. Saat itu saya berpikir kalau yang masuk tim ya yang rutin latihan, kalau saya masuk tim dengan kondisi jarang latihan, berarti tidak adil bagi pemain lain yang latihan rutin tapi masih belum bisa masuk tim. Olahraga ini kan prinsipnya fair play jadi ya harus adil. Itu sudah menjadi prinsip hidup saya.”
Meskipun beliau mengaku jarang mengikuti perkembangan sepakbola, beliau memaparkan pandangannya tentang permainan bola saat ini,
“Pemain sekarang ini aneh, kalau dilanggar kok protesnya berlebihan, kalau tidak begitu pura-pura jatuh. Sepakbola itu khan olahraga fisik, kalau tidak mau dilanggar ya badminton atau pingpong sana”
“Gigi saya ini gigi palsu, yang asli sudah hilang ketika saya masih main bola, selain itu lutut saya juga sudah “kena”. Resikonya main bola ya gini ini, kita harus siap. Tapi meskipun dilanggar lawan, saya masih berhubungan baik diluar lapangan dengan pemain lawan yang melanggar saya.”
“Kalau sepakbola sekarang itu ujung-ujungnya ya uang, kisruh sepakbola yang sekarang terjadi itu sebetulnya hanya soal uang. beda dengan era saya dulu yang main bukan karena uang.”
Seperti halnya mantan pemain Persebaya yang lain, Liem Tiong Hoo juga merasakan rendahnya perhatian klub atau pemerintah. Beliau juga menceritakan bahwa teman-temannya yang lain menghabiskan sisa hidup dalam kondisi yang mengenaskan.
“Pemain itu seperti sampah mas, habis manis sepah dibuang. Saya saja sampai sekarang tidak pernah menerima free pass ke stadion, padahal kalau mantan pemain seperti saya datang ke stadion pastinya akan membanggakan bagi Persebaya. Padahal saya dulu bermain bukan untuk uang, waktu itu kami tidak di gaji.”
Ketika kami berencana mengajak beliau menonton Persebaya di stadion beliau menolaknya,
“Saya ini sudah tua mas, jalan saja susah apalagi ke stadion.”

Rentang waktu sang legenda
Kurangnya perhatian juga dirasakan beliau dari klub yang membesarkan beliau, Suryanaga. Kami mendapatkan sedikit ulasan dari Koran Tempo yang menulis “Penerus Tradisi Tiong Hoa dan Naga Kuning”.
Sejumlah nama pemain sepak bola tenar di Tanah Air dihasilkan oleh Suryanaga, dari Bing Mo Heng, Han Tan Hok Gie.The Hong Djien (era 1930-1940); Tee San Liong, Ing Hien, Tiong Hoo (1940-1950); Bhe Ing Hien, Januar Pribadi (1950-1960); Rudy William Keeltjes, Nicky Putiray (1970-1980), hingga I Wayan Diana, Syamsul Arifin, Djoko Malis, Subangkit, dan Maura Hally (1980-1990).
“Waktu kemarin ulang tahun ke-100 Suryanaga, saya juga tidak diundang. Selain itu juga saya tidak pernah mendapat penghargaan dari Suryanaga.”

Bond Tiong Hoa
Sambil menunjukkan piagam penghargaan sebagai legenda Persebaya,
“Untungnya (Walikota) Bambang DH masih mengingat saya, dia memberi saya ini.”
Di penghujung perbincangan, beliau kembali menunjukkan kerendahan hatinya. Sang legenda berpesan,
“Tolong jangan dibesar-besarkan cerita saya, apa yang saya berikan kepada Persebaya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan teman-teman yang lain.”

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More