“The goalkeeper is the lone eagle, the
man of mystery, the last defender. Less the keeper of a goal than the
keeper of a dream.” – Vladimir Nabokov
Demikian tutur sang novelis Amerika
kelahiran Rusia, Vladimir Vladimirovich Nabokov. Belum pernah ada dalam
sejarah sepakbola sampai saat ini tercatat nama seorang Kiper yang
menjadi pemain terbaik dunia, Belum pernah.
Bahkan Emrah Serbes, penulis terkenal Turki, menuliskan “While other players chase the ball, goalkeeper is the only one that stands against it.” .Sendirian mempertahankan gawang, sendirian memikul beban di setiap pertandingan. Menjadi Pahlawan atau Pecundang, tinggal tunggu saja.
Bahkan Emrah Serbes, penulis terkenal Turki, menuliskan “While other players chase the ball, goalkeeper is the only one that stands against it.” .Sendirian mempertahankan gawang, sendirian memikul beban di setiap pertandingan. Menjadi Pahlawan atau Pecundang, tinggal tunggu saja.
Kiper adalah orang yang disebut pertama
dalam susunan pemain tetapi justru menjadi orang terakhir menjaga sebuah
tim dari kemasukan gol. Kiper terkadang menjadi sebagai pahlawan
pertandingan apabila harus berakhir lewat drama adu penalti. Tapi
seringkali juga disebut sebagai penyebab kekalahan sebuah tim apabila
banyak mengalami kebobolan.
Kiper menjadi representasi atas baik maupun buruknya organisasi pertahanan sebuah tim sepak bola.
Siapa yang tidak kenal I Gusti Putu Yasa? Kiper legendaris Persebaya dan Timnas.Dan,inilah kisahnya:
Karir
“Saya dari kampung, memang sudah suka bermain bola. Saya dari
Denpasar, saya lulusan STM. Dari SD saya suka main bola. Cuma tidak
langsung posisi penjaga gawang. Sebenarnya saya menjadi kiper itu
dadakan.”“Waktu kelas 3 STM, ada Porseni (dulu Popsi). Main bola tidak ada penjaga gawang, karena sudah lulus. Karena dulu saya punya basic main basket, jadi saya jadi penjaga gawang dadakan. Dianggap bagus, sampai masuk final lawan SGO (dulu SMOA). Salah satunya teman saya satu sekolah, dia adik kelas saya, Made Kawiarda. Kakak, Made Pasek Wijaya. Saya main satu sekolah sama dia. Klub pertama saya, Lingers, Internal Perseden Denpasar.”
“Setelah tamat STM, saya kerja di Jakarta. Karena basic saya mesin, saya kerja di Astra. Hampir 3 tahun di Jakarta. Disana saya masih main bola, tetap jalan. Masuk Jakarta, juga sudah jadi kiper. Klub saya, Volker, internal Persitara Jakarta Utara. Saya juga dipanggil untuk bermain di Persitara, waktu itu divisi 2.”
“Umur 21 tahun saya ke Surabaya, saya diterima di Direktorat Jendral Bea dan Cukai.”
“Ternyata di kantor saya yang baru, ada klub sepakbola. Kebetulan teman-teman dari Jakarta banyak suka bermain bola. Kita bikin klub dulu di kantor.”
“Dulu, ada semacam turnamen antar kantor. Ada dari Pemda (Bodro, Rusdi), ada dari Pelabuhan. Namanya Aneka Gas Cup. Kita mengikuti itu dan juara. ”
”Selesai turnamen, saya masuk Sasana Bhakti (Sakti), Machrus Afif itu adik kelas saya di Sakti. Saya tidak tahu Sakti itu, yang saya tahu lihat di Koran. Sakti ternyata klub paling lemah di kompetisi internal Persebaya, strategi saya pas. Banyak teman-teman saya masuk ke IM, Suryanaga. ”
”Salah satu yang merekomendasikan saya masuk Persebaya, Budi Johannis. Saya berkompetisi dengan dia, Budi sempat bermain di tim nasional. Saya tahu nama, tidak tahu orang. ”
“September 1983 saya ke Surabaya, Februari 1984 saya sudah masuk tim Persebaya.”
“Sekitar 1983-1984, ketika ada pelatih, Mujiadi namanya. Dulu Warna Agung, ditunjuk sebagai pelatih Persebaya. Persebaya, saat itu punya Sasono Handito dan M Ridwan. Harus punya 3 penjaga gawang, saya salah satu yang direkomendasikan Budi (Johannis). Saya tidak kenal Budi, Budi cuma lihat saya bermain. Karena dua kali, dia kena penalti. Dua kali kena sama saya. ”
”Saya direkomendasi, saya ikut saja. Pertama kali dipanggil, pertama kali saya lolos. (Sasono) Handito orangnya fair, sportivitas tinggi. Mungkin karena pendidikan mempengaruhi. ”
“Dia bilang ke saya, ‘Kayaknya saya kalah bersaing dengan anda. Walaupun anda pendatang baru. Supaya saya tetap eksis, saya akan pergi pulang kampung ke Gresik’. Handito mengakui kemampuan saya. Saya datang, dia pergi ke Persegres.”
“Di Persebaya, tinggal saya, M Ridwan dan Usnadi.”
“Dari rentang waktu 1984-1990. Baik di Persebaya maupun PSSI, Saya tidak pernah tersingkir. Di Persebaya tidak pernah dicoret, demikian di PSSI. Saya sendiri yang akhirnya mengundurkan diri dari PSSI.”
Tentang perasaan final perserikatan di Senayan
“Bagi saya pribadi, biasa, ketika
masuk final. Saya pernah nonton divisi utama melalui televisi, antara
1980-1981, antara Persiraja Banda Aceh melawan Persipura Jayapura.
Bayangan saya main bola di Senayan kayak apa? Itu saja.”
“Kedua, saya ingat Abdul Kadir. Arab
Bali dia. Sama saya suka ngomong Bali, kebetulan sewaktu pra piala
dunia, dia melatih saya. Saya ingat dia, pernah nonton waktu SD di Bali.
Seneng saja, Bangga saja. Waktu itu barangkali lebih ke Surabaya
daripada Bali.”
“Gembira ya gembira, tapi khan oh ini rasanya juara. Cuma gini, naik panggung dapat medali terima piala. Gitu saja”
“Senengnya barangkali, orang deket
kita misalnya pacar saya (sekarang jadi istri saya). Barangkali calon
mertua saya, saudara saya. Itu justru mereka yang senang berlebihan,
bukan kita. Karena selesai, besok latihan lagi.”
“Apalagi saya, selesai Persebaya
harus segera ke timnas, selesai sana (timnas) balik Persebaya. Gak ada
istirahat, 7 tahun itu begitu terus. Untung dapat fasilitas dispensasi
(kantor), kalau enggak gak mungkin bisa.”
Tentang sepakbola “Gajah”
“Sebelum itu ada peristiwa sepakbola “gajah” juga, dilakukan oleh PSIS Semarang.”
“Saya baru masuk Persebaya. Putaran I
di Ujung Pandang. Selesai putaran I, putaran II di Semarang.
Pertandingan PSIS Semarang lawan PSM Makasar. PSIS draw, Persebaya masuk
ke Senayan, 12 besar. Ternyata PSIS tidak ajak kita, bukan draw, PSIS
malah kalah 0-1 dari PSM. Dimasukkan sendiri sama Budiawan Hendratno.
Proses gol telak sekali, karena kita nonton semua. Semua kecewa terutama
Budi, dia kaptennya.
”Ada momen kita yang menentukan di
Surabaya. Lawan Persipura, saya tidak main. Semua pemain inti tidak
main, semua pemain cadangan. Edi Mujiarto kipernya, Usnadi saja tidak
dipasang apalagi saya. ”
”Bukan karena sakit hati, lebih ke
strategi. itu tercermin ketika kira rapat technical meeting untuk
menentukan lawan Persipura. Budi Johannis ngomong. Manager saat itu,
Agil , itu motivator seorang orator. Yang jelas kita dikerjai, orang
Surabaya karakternya, ngerjain lebih sakit lagi. ”
”Sewaktu Persebaya lawan Persipura,
di Ujung Pandang juga ada Perseman Manokwari melawan PSM. Kita tidak mau
ajak semua itu termasuk PSIS, kita lebih memilih Persipura. Disana
hasil akhir 2-0 untuk PSM. Daripada nanti kelewat , PSIS masuk. Kita
main, 0-12 untuk Persipura. PSIS marah, anak-anak Surabaya diancam di
Jakarta.”
”Pressure dari media, dari masyarakat
umum tidak ada apa-apanya. Karakter Surabayanya lebih kuat dari
Pressure-pressure tadi, pressure tidak kita pikirkan walau banyak
ancaman-ancaman seperti pemain Persebaya keluar hotel, tinggal nama.”
”Di Hotel Indonesia, kita
dikumpulkan. Pejabat-pejabat nasional memberikan motivasi seperti
Sudarmono, Try Sutrino, Ruslan Abdul Gani. Bahkan Srimulat sekalipun
memberi dukungan. Pejabat-pejabat tersebut memberikan wejangan, ‘sudah
gak usah takut, konsentrasi saja dengan permainan’. Disitupun kita
memilih Persija, sebagai lawan di Final. Pokoknya main draw, supaya
masuk final berdua. ”
“Kenapa memilih Persija? Karena Persija selalu kalah sama kita.”
Tentang pertandingan Persib vs Persebaya 3-3
Perlu digaris bawahi, pertandingan yang
berlangsung Senin, 21 Maret 1988. Adalah pertandingan terbaik selama
kompetisi perserikatan 1987/1988.
“Gol pertama, saya ambil bola, kemajuan trus bola itu lepas. Sehingga jadi gol, karena kena lampu, silau dikit”
Tentang gol 3 sentuhan
”Golnya cepat sekali itu. Jaman saya
kan sering, Syamsul Mustaqim tiga sentuhan. Gol dari saya itu, tendangan
saya jauh. Gol seperti ini sering juga di Gelora (10 Nopember). ”
”Syamsul sering di pinggir kanan atau
kiri. Jadi, saya kasih bola arah depan dia. Mustaqim masuk dari tengah.
Di Heading sama Syamsul, diselesaikan dengan shooting Mustaqim. Gol
seperti itu sering, jarang kita main dari bawah.”
”Kita memanfaatkan keunggulan
masing-masing. Saya punya tendangan jauh, akurasinya bagus. Tinggal
akurat atau tidak, itu saja. Syamsul heading gak ada ngalahin pada waktu
itu.”
”Senayan 3 kali, lawan PSMS dan Persiba. Mereka gak mau bola dari bawah, begitu saya dapat bola. Semua pada maju ke depan. ”
Tentang pertandingan Final 1986/1987
Final dilangsungkan hari Rabu, 11 Maret 1987. Hasil akhir PSIS vs Persebaya 1-0.
Final dilangsungkan hari Rabu, 11 Maret 1987. Hasil akhir PSIS vs Persebaya 1-0.
”Ketika final 1986 kalah 1-0, golnya
itu kontroversial. Itu bola, saya dapat. Tidak perlu tangan dua, tangan
satu saja dapat. Memang saya biarkan, karena ada peluit (wasit).”
”Ketika bola ditendang dari sebelah
kanan, semua pemain kita diam termasuk bek. Karena ada peluit. Ribut
Waidi, dia tidak niat itu. Dia hanya ketimpa bola. Bola ke arah gawang.
Disamping saya, saya diamkan karena ada peluit. Jaja Mujahidin, nama
wasitnya.”
”Ternyata itu disahkan sebagai gol.
Alasannya itu peluit penonton, padahal dia sendiri yang tiup. Sebagai
pemain di lapangan, di Senayan. Suara peluit penonton tidak terdengar.
Seperti dikerjain (wasit)."
Tentang pertandingan Final 1987/1988
“Tahun 87/88 Persebaya sempat
menerapkan sepakbola ilmu pengetahuan, saat itu pemberitaannya ramai
sekali dikoran, kebetulan waktu tes iq saya yang nilainya tertinggi.”
“Kita leading dulu 3-1, saya kena
penalti satu tapi tidak masuk. Yang menendang Patar (Tambunan). Saya
kenal dia, bola lewat gawang. Mereka sebenarnya tidak berani ambil
(penalti).”
“Saat di Senayan kami bahkan tidak
tahu kalau keluarga kami (anak istri) datang mendukung ke senayan, itu
memang sengaja diatur panitia agar tidak mengganggu konsentrasi
bertanding kami. Kami juistru kaget dan baru tahu kalau anak istri
datang ke senayan setelah pertandingan selesai”.
Tentang pertandingan Final 1989/1990.
Ekspektasi sebagai juara bertahan di dua
tahun sebelumnya membuat publik menjagokan Persebaya kembali merebut
gelar juara. Kedalaman skuad sudah tidak diragukan, tim terbaik masih
tersisa. Namun, semua berubah ketika kalah.
“Ya namanya bola bundar. Kalau saya
lihat down-nya mungkin karena gol bunuh diri itu. Bangkit (Subangkit)
merasa dia yang salah, tapi saya tidak akan pernah menyalahkan dia.”
“Secara teknis, siapapun penjaga
gawangnya. Bangkit bawa bola dari sini (sisi kiri gawang), dia menang
posisi dikejar sama lawan.dia menang posisi, dia mau back pass ke saya.
Deket khan, back pass.”
“Secara teknis, bangkit back pass
sebelah kiri saya. Harusnya sebelah kiri saya. Bangkit itu kalau tendang
suka ngefek, suka pakai kaki dalam. Mau kiri mau kanan, pakai
kura-kura.”
“Nah itu, bola pasti akan dibawa ke
kirinya dia. Kalaupun saya tidak dapat, bolanya out. Logika seperti itu,
saya sendiri juga kaget. Kenapa bangkit tendang bolanya itu kayak
lawan, pojok sekali jauh sekali di kanan. Saya pikir, kurang ajar
bangkit dalam hati saya. Ya sudah gol.”
“Di ruang ganti pun kita yakin juga, masih keyakinan tinggi.”
“Pulang dari sana, semua menyerang. Saya dan Bangkit biasa saja, kecuali bola itu kotak, baru kita itu susah. Bola itu bulat.”
“Yang saya syukuri bukan apa-apa,
bukan soal juara atau tidak. Bukan. Analisis orang-orang yang merasa
dirinya ngerti bola (ketika itu) tidak ada yang menganalisis bahwa pemai
kena suap.”
“Saya dan bangkit kumpul 5-7 tahun.
Sudah tahu bola kemana, tapi khan tidak 100% ke situ. Suatu saat pasti
akan salah, tidak sesuai keinginan. Manusiawi itu dan saya tahu persis.”
Tentang indikasi suap
“Ketika ada tim saya, bermain aneh. Saya duluan mundur dan itu pernah saya lakukan 2 kali.”
“Waktu dipinjam Bina Taruna (Jakarta) untuk Merlion Cup, saya dipinjam dari timnas. Saya lihat teman tidak benar nih mainnya.”
“Saya bilang ke pelatih, waktu itu Ipong Silalahi, ‘Sorry saya berhenti, ganti saya babak kedua’.”
“Saya bilang ke pelatih, waktu itu Ipong Silalahi, ‘Sorry saya berhenti, ganti saya babak kedua’.”
“Saat turnamen di Singapura itu
pemain bon-bonannya adalah Saya, Fachri Husaini, Anshary Rangkuti dan
Adityo Rahmadi. Sebelumnya saya sudah punya feeling tidak bagus.”
“Babak pertama saya kebobolan 2 gol,
gol pertama saya merasa ada yang tidak enak, bola yang harusnya diambil
tapi tidak diambil.”
“Kembalikan saya ke PSSI, saya disini
tidak membawa nama Persebaya tapi nama Nasional. Saya marah-marah dan
menolak main dan feeling saya terbukti benar kami kalah 8-1.”
“Persebaya juga begitu, cuma bukan di
kompetisi divisi utama. Mercu Buana Cup di Teladan, Medan. Turnamen
tidak penting bagi mereka, bagi saya tetap penting. Ini anak-anak main
gak bener, saya minta ganti saya gak mau. Kenapa saya begitu? Karena
saya menyandang predikat nasional, saya gak mau hancur nama saya
gara-gara itu.”
“Saya langsung buka kaos, masuk ruang
ganti dan saya diam tidak mau keluar. Biar pelatihnya ngotot saya tidak
mau, ganti. Saya tidak sreg cara anda main, ya saya sudahi.”
“Saya penjaga gawang, jadi saya tahu
di depan bagaimana. Cara main saya tahu. Saya bisa melihat, saya sama
pelatih bahkan pemain lawan. Pemain lain tidak bisa melihat temannya 10
orang, paling 2-3 orang.”
Tentang pemain idola
“Kalau luar negeri, Kevin Keegan. Permainannya bagus.”
“Gayanya, penampilannya ya mungkin
gantengnya, saya suka Didik Darmadi. Satu, saya nonton dia. Dua, saya
pernah main sama dia, bertemu langsung. Dia bek kanan/ kiri. Kakaknya
Adityo Darmadi.”
“Justru saya tidak punya idola kiper. Karena kiper bagi saya, itu masalah posisi saja.”
Tentang ritual sebelum bermain
Kiper selalu identik dengan hal-hal
‘aneh’. Fabien Barthez, kiper Perancis kala menjuarai Piala Dunia 1998.
Sebelum bermain, kepala plontosnya selalu dicium oleh Laurent Blanc.
Hanya untuk sekedar membawa keberuntungan. Bagaimana dengan Putu Yasa?
“Gak ada itu ritual-ritual. Saya main
saja, gak terlalu memikirkan itu. Khan sebelum main, sudah berdoa. Saya
tidak ada keyakinan seperti itu.”
“Paling yang saya pikirkan itu, kualitas lapangan itu khan kadang-kadang beda. Gawangnya terutama tingginya bisa beda.”
“Lapangan di Indonesia, di bawah mistar biasanya cembung.”
Sewaktu Persebaya kalah 1-0 dari PSM, gol oleh Dullah Rahim. Putu Yasa mengakui gol tersebut adalah kesalahannya.
“Ini khan olahraga, sportif. Saya
punya prinsip begini, yang namanya gol ke gawang. Penjaga gawang siapa?
Dia yang salah. Tugasnya jaga gawang supaya tidak gol. Kalaupun teman
bikin kesalahan didepan sehingga menjadi gol. Tetap saya mengakui saya
salah.”
“Supaya, satu, masalah selesai di
dalam tim. Kalau sudah saling menunjuk, bakalan rusak. Dan, saya tidak
akan pernah membuat alasan saya tidak fit, saya tidak pernah. Saya
jarang cedera, gak pernah keluar (pertandingan) diganti gara-gara
cedera. Karena sebelum pertandingan khan ditanya, ada line up. Sudah
siap, berarti segalanya teknis,fisik, mental siap juga.”
“Hasil pertandingan itu tiga; menang,
kalah dan draw. Ketika kita kalah untuk menyelesaikan masalah, ya
sudah. Toh besok ada pertandingan lagi, kalah bukan kiamat.”
Bondo dewe
“Persebaya tidak pernah membelikan
baju kiper untuk saya pakai. Saya beli sendiri. Persebaya ada tapi tidak
cocok dengan badan saya. Bahannya aneh-aneh, bukan adidas.”
“Saya beli di pasar baru Jakarta, karena lebih banyak pilihan.”
“Kemampuan tim segitu, lagipula saya nyaman pakai baju saya sendiri. Kalau tidak nyaman, tidak pede kita.”
“Maka identik dengan kuning, karena saya punya 2.”
“Sarung tangan yang enak kita pakai. Sarung tangan, sepatu semua beli sendiri. Bagi saya itu nyaman.”
“Saya pakai adidas world cup, puma beli di Malaysia.”
Kelebihan dan kekurangan seorang Putu Yasa
“Budi Johannis selalu bilang, ‘Kalau ada Putu,Aman’. Kelemahan gampang diprovokasi oleh pemain musuh terutama di kandang lawan.”
“Kalau dia tidak kena (provokasi), sudahlah tenang kita main. Maka dari itu selesai main, Budi selalu beritahu saya.”
“Budi bilang ke saya,‘awakmu jangan terprovokasi. Terutama pemain-pemain Ujung Pandang.”
“Bentuk provokasi seperti kuping di sentil. Tendangan sudut kita konsentrasi di bola, “barang” kita dipukul.”
“Alimudin Usman, pemain nakal. Kecil orangnya.”
“Akhirnya di Surabaya, tidak berani
dekat saya. Pernah dia bawa bola lolos, saya sengaja biarkan. Saya yakin
tidak masuk, saya tunggu memang.”
“Kalau saya kejar, dia pasti lari. Dia menghindar. Benar, dia semangat mengejar bola, baru saya ambil. Saya sliding.”
“Dia loncat keluar lapangan, menabrak
papan reklame sampai jebol. Dia bangun dan bilang,’Putu, jangan
keras-keras putu. Kita saudara.”
“Kita bisa akur kalau kita sama-sama PSSI.”
Tentang sepakbola
“Pemain bola, sejarah dari dulu
sampai sekarang (jaman saya) tidak ada pemian bola orang kaya,ngak ada.
Pasti orang miskin,latar belakang ekonomi pasti orang miskin. Cuma
karena di bola bisa seperti saya, walaupun tidak digaji dulu ternyata
saya bisa bekerja karena bola.”
“Yang jelas pasti berangkat dari latar belakang ekonomi yang parah.”
“Jaman saya sistem pembinaan amatir, saya tidak menuntut take home pay. saya hanya menyalurkan hobi, itu saja prinsip saya.“
“Saya bukan dapat fasilitas dari Persebaya.”
“Saya walaupun amatir, jiwa saya
professional ketika itu. Olahraga ini bukan politik, bukan apa gak ada
kaitan dengan suku,ras,agama gak ada.”
“Saya mampu pakai, gak (mampu) gak usah. Khan itu saja.”
“Bagaimana kamu berprestasi sekarang?, ribut saja sekarang.”
“Secara teknis enggak, tapi kalau
disuruh memberikan masukan teknis. Mungkin saya ingat, itu saja. Tapi
saya tidak mengikuti perkembangan (sepakbola sekarang).”
Tentang Sistem Pembinaan
“Saya pernah training di 2 negara,
yang sepakbolanya maju. Jerman dan Belanda. Waktu pra Piala Dunia, kita
TC (Training Camp) sebulan.”
“Setelah pulang, saya berpikir
mungkin 25-50 tahun ke depan (saat itu tahun 1987), Indonesia tidak
bakal bisa menyamai seperti mereka.”
“Gak usah ngomong pemain yang ada,
yang jadi ini gak usah. Kalau saya, ikuti seminimal mungkin sarana dan
prasana yang mereka miliki. Ikuti dulu itu, kalau itu bisa. Baru kita
mulai membina pemain itu. Kalau sekarang, gak bisa.”
“Saya lihat Pelita Jaya yang sangat
mumpuni. Dia punya stadion, lebak bulus hanya untuk bertanding
kompetisi. Latihan di Sawangan (Bogor). Di Sawangan, mereka punya 2
lapangan. Disitu dipenuhi dengan diklat. Selain Pelita Jaya, tidak ada
yang yang punya.”
“Persebaya, nama besar untuk ukuran
Indonesia. Apa Persebaya punya lapangan? Persebaya, kalau 1 minggu 8
hari kompetisi. 8 hari juga lapangan itu penuh. Terus, kita bicara
bagaimana kualitas lapangan? Belum lagi Gelora 10 Nopember.”
“Saya pernah camp di Bayern Urdingen,
Jerman. Bayern Urdingen dulu divisi utama liga Jerman. Lapangannya ada
25 buah, dalam satu kawasan. Berbagai karakter lapangan. Stadion dia
hanya untuk kompetisi. Kita mau main disitu, lihat lapangan lihat saja.
Tidak boleh menginjak (lapangan). Jangankan pakai sepatu bola, pakai
sepatu kets pun tidak boleh. Kalau di Indonesia ngak lah, ngak bisa.”
“Maka dari itu, jika berbicara
prestasi. Semua orang merasa pinter. Masak sih, Indonesia, 200 juta
mencari 11 orang saja tidak bisa?. Ngomong gampang, tapi tidak pernah
berpikir.”
“Saya main bola di tempat ini,
kira-kira prestasi sampai dimana?. Kenapa saya ngomong seperti itu?
Karena sarana dan prasarana (Infrastruktur) hanya segini, bagaimana
berprestasi tinggi? Tidak bisa.”
Profesionalisme
“Tahun 87 saat kita away ke semarang,
Nuryono Haryadi tidak tahu kalau istrinya telah melahirkan, bahkan baru
diberitahu setelah pertandingan berakhir.”
“Yang paling sering kena itu saya,
karena saya dari bali dan agama saya hindu saya pernah disuruh main di
senayan. Saya jalani saja, ini khan sepakbola saya hidup di indonesia
yang negaranya beragam saya jalani saja. Waktu itu saya bilang, kalau di
bali saya tidak akan main tapi kalau di jakarta (luar bali) saya main
karena ini khan demi sepakbola.”
“Saya, kusnadi, Budi (Johannis),
Nuryono dan satu lagi saya lupa, kami dipanggil Pak Mangindaan. Dia
bilang ‘gua cuman nyiapin isinya saja, kunci rumah pasti siap’. Sampai
sekarang kalau saya pulang kampung, saya dianggap punya rumah setelah
bawa Persebaya juara 1987/1988 padahal tidak.”
“Sistem saya dulu itu patriotisme,
gak ada kompensasi. Bahkan, sama (alm) semua itu (blegoh, agil) rumah
waktu juara gak ada. Dan kita gak punya hak untuk nuntut itu.”
“Secara legal formal juga tidak bisa, hanya karena omongan. Tidak ada hitam diatas putih.”
Tentang keinginan kembali ke dunia sepakbola
Kembali ke dunia yang telah membesarkan
namanya, Beliau kami tanya soal kemungkinan menjadi pelatih setelah
setelah purna tugas dari instansi tempat beliau bekerja saat ini.
“Mungkin saja, tapi kalau itu saya
lakukan pastinya bukan karena uang, tapi murni karena kecintaan saya
terhadap sepakbola dan tanggungjawab karena memiliki ilmu yang sudah
seharusnya di turunkan agar bisa bermanfaat bagi orang lain.”
0 comments:
Post a Comment