Muharrom Rusdiana, sebuah nama yang
mungkin asing ditelinga pecinta bola saat ini, tapi jika kita kembali ke
belakang. Di era 80-an, nama tersebut tidaklah asing ditelinga.
Muharrom Rusdiana adalah anggota skuad golden generation Persebaya yang mampu mengobati 10 tahun dahaga gelar publik bola Surabaya dengan membawa pulang trophy perserikatan. Setahun sebelumnya, tepatnya musim kompetisi 1986/1987, Persebaya sudah sangat dekat dengan trophy juara setelah menembus grand final, sayang keunggulan 1-0 oleh Budi Johannis kala itu gagal dipertahankan.
Hal sama terulang di kompetisi tahun 1989/1990, sayang di final kembali kandas oleh anak-anak Persib Bandung.
Ketika kami mendatangi kediaman beliau di daerah Sepanjang, beliau menceritakan awal mula perkenalannya dengan si kulit bundar.
“Bapak saya itu khan tentara, bapak
orang Jogja ibu orang Jombang. Kebetulan bapak saya senang sepakbola,
pas kalau saya main bola beliau pasti ikut main (menemani)”.
“Bapak sempat tugas ke Ujung Pandang
lalu pindah ke Bali (saya lahir disana) dari situ menurun (kegemaran
sepakbola) ke kakak saya terus pindah kesini (Surabaya)”.
“Kebetulan dibelakang rumah ada lapangan
tinggalannya Belanda. Saya jadi sering lihat bola, karena waktu itu
hiburan jarang, tidak ada handphone, tv juga jarang. Lama-lama saya jadi ikut suka”.
Dari lapangan tersebut beliau mengenal
dan mulai memainkan sepakbola yang kelak akan membawanya menjadi pemain
besar, meskipun saat itu beliau tidak berfikir ke arah sana.
“Saat itu panggilan saya Muh, kalau main dilapangan belakang rumah ya cekeran. jadi kalau ada pertandingan kampung gitu saya diajak, istilahnya di “bon”. Baru, waktu SMP saya mulai pake sepatu”.
Ketika kami bertanya siapa pelatih pertama yang mengajarkan cara-cara bermain sepakbola beliau menjawab,
“Kakak saya, kakak saya dulu pemain HBS
dia yang mengajari saya bermain. Waktu itu juga ada Pak Ridwan (pemain
Suryanaga, Persebaya dan timnas) yang ikut mengajari. Karena dulu HBS
dilatih orang Belanda jadi ilmu orang Belanda itu sama kakak saya
diajarkan ke saya, makanya disini (anak-anak remaja sepanjang)
menangan.”
“Tim kami waktu itu namanya Tunas Muda,
itu dulu terkenal mas. Sampek mojokerto dan sekitarnya. Sama kakak saya,
saya diforsir latihan fisik. Soalnya kalau Belanda khan fisik, jadi
waktu itu Tunas Muda terkenal punya fisik bagus karena memang diforsir
sama kakak saya”.
Bakat bola beliau kemudian dipantau oleh Suryanaga saat keduanya bertanding persahabatan, dan Tunas Muda mengalahkan Suryanaga.
“Saat itu Pak Ridwan menawarkan uji coba
antara Suryanaga remaja dengan Sepanjang remaja (Tunas Muda), ketika
dicoba ternyata kami menang. Lalu di panggil enam pemain dari Tunas Muda
diajak bergabung dengan Suryanaga junior.”
Masa-masa awal bergabung dengan tim
junior Suryanaga, adalah masa dimana beliau mengenal teknik bermain
sepakbola. Di klub internal inilah beliau mendapat banyak ilmu tentang
teknik bermain sepakbola, setelah sebelumnya mendapat bekal fisik dari
sang kakak. Perpaduan antara fisik dan teknik ini yang akan menghasilkan
kesempurnaan.
“Latihannya di lapangan yang sekarang
jadi Mall Grand City di Gubeng, disitu ada perumahan AL dan lapangan.
Pulang sekolah kami latihan. Latihannya jam setengah 2 siang, dadi panas
menthang-menthang mas.”
“Berangkat latihan kami naik sepeda, kadang-kadang nggandhol truk. Bahkan, pernah sampek kebablasen.
Karena saat itu angkutan cuman jalur Karang Pilang – Joyoboyo, yang
lewat sini (Sepanjang) tidak ada. Dari sanalah mental dan motivasi saya
akhirnya terbentuk.”
Sepakbola bagi beliau seperti magnet kuat yang tidak bisa dilepaskan,
“Dulu pernah waktu kakak saya sakit
typhus, saya disuruh beli pisang buat minum obat. Tetapi saya tidak mau
karena saya lebih memilih latihan bola.’
“Ibu saya sampek marah-marah dan bilang,“lho mas mu iku pengen ngombe obat gak iso, koen engkok lek loro yo opo? Gak ono sing nukokno obatmu”.
“Saya pun menjawab, “yo wes ga popo”, dan saya tetap melanjutkan bermain bola. Akhirnya bapak saya yang nyari pisang naik sepeda”.
Tak cukup sampai disitu kecintaannya
kepada sepakbola ditunjukkan ketika beliau lebih memilih bermain
sepakbola daripada ikut kegiatan sekolah (karya wisata),
“Saya sempat bilang, babah aku oleh piro ae (nilai sekolah) seng penting aku bal-balan”
“Saya dulu SMA sampek lima tahun gara-gara kalau ada panggilan sekolah saya tinggal saat itu sekolah gak kenal sama dispensasi, SMA Muhamadiyah mrotol, SMEA mrotol
lagi, STM sama juga terakhir saya sekolah malam di belakang Tambaksari
daerah Bronggalan namanya kalau gak salah SMA Jaya Sakti” beliau
melanjutkan “kemudian saya kuliah di UPB, kemudian menikah”.
Muharrom Rusdiana dan kesebelasan Suryanaga
Dari Junior ke Senior
Kerja keras yang dilalui akhirnya
berbuah manis saat beliau kemudian dipanggil oleh Persebaya junior.
Tahun 1978, di usia 17 tahun. beliau berseragam Persebaya.
“Begitu saya main dan latihan disana
(Suryanaga) kok ndilalah terjaring sama Persebaya junior. Yang saat itu
terjaring selain saya ada Ferril R Hattu, M Zein Al Hadad, Helly Maura,
Sasono Handito. Pelatih Persebaya senior saat itu (alm) Januar Pribadi
(Phoa Sian Liong) dan (alm) Zulkifli.”
“Umur saya masih 17 tahun, waktu om Januar habis latihan memanggil saya dan bilang, ‘koen melok senior’.”
Meskipun sudah mendapat bekal kemampuan
fisik dan teknik, beliau tidak berhenti belajar. Bahkan terus menambah
kemampuan dengan membaca berbagai literatur sepakbola untuk menambah
pengetahuan soal sepakbola.
“Saya orangnya senang membaca mulai Kho Ping Ho sampek
novelnya Nick Carter, selain itu ya baca buku atau koran tentang
sepakbola. Saya baca semua bagaimana Argentina dengan Daniel Pasarella
jadi juara piala dunia.”
Kebiasaan positif tersebut ternyata
sangat membantu meningkatkan kemampuan sepakbolanya, bahkan ketika harus
berganti posisi pun beliau tidak terlalu sulit menyesuaikan.
“Awalnya saya jadi libero lalu sama om
Januar di geser ke kanan jadi fullback, dari sana saya belajar dan
baca-baca sistem pertahanan, bagaimana sepakbola modern. Saya juga
banyak belajar dari cara main Erik Geretz (pemain PSV dan Belgia).”
Dari sanalah bakat besar Muharrom Rusdiana tercium oleh duet pelatih senior Persebaya.
Pertama kali bergabung dengan tim senior
Persebaya beliau menyerap ilmu dari para senior seperti Soebodro, Yopie
Saununu dll. Semangat untuk terus belajar tersebut membuatnya
berkembang lebih cepat sehingga bisa bergabung dengan Persebaya senior
diusia 18-19 tahunan.
“Kalau pemain sekarang pulang latihan langsung ke mall, saat saya masih aktif bermain tidak seperti itu.”
“Pemain senior seperti Syamsul Arifin
nimbrung bareng pemain junior, lalu kami berdiskusi. Yang senior memberi
arahan, yang junior mendengarkan. Suasana santai sambil cangkrukan,
guyon-guyon.”
Transfer knowledge model tersebut
membuat regenerasi pemain terus terjaga, alhasil setelah era Syamsul
Arifin muncul Mustaqim kemudian disusul Yusuf Ekodono, Putut Wijanarko,
Ibnu Grahan, dll.
“Kalau sekarang khan sepertinya susah
karena yang karena sudah profesional jadi terkesan individu, bisa juga
karena yang muda kurang aktif bertanya.”
Jika dulu Budi Johannis menambah porsi latihan untuk meningkatkan kemampuan, hal yang sama juga dilakukan oleh Muharrom Rusdiana.
“Saya dulu sering latihan crossing setelah latihan dengan menambah porsi latihan sendiri 1-2 jam, orang sekarang lihat Beckham bisa crossing
bolanya belok sudah kagum. Padahal dulu itu biasa, pemain dulu selalu
menambah porsi latihan sendiri, karena malu sama penonton kalau
penampilan tidak maksimal.”
Memang benar, Syamsul Arifin mendapat
predikat si kepala emas tetapi Syamsul Arifin tidak bermain sendiri. Itu
terwujud oleh karena faktor pemain lain, seperti Muharrom Rusdiana yang
memberikan umpan. Saling pengertian diantara sesama pemain, kekompakan
tim terbentuk bukan hanya karena aktifitas di dalam lapangan namun
aktifitas di luar lapangan seperti diskusi ala cangkrukan diatas atau
pertemuan dalam kelas yang dilakukan tim kepelatihan seminggu sekali.
“Dulu ada semacam class room,
tergantung program pelatih. Saya juga sempat merasakan dilatih oleh
berbagai pelatih mulai Sutan Harhara, Solekan, Sartono Anwar, (Oom)
Berce dll”.
Persebaya 1989
Persebaya adalah Segalanya
Ketika ditanya tentang arti Persebaya
baginya, beliau menjelaskan kebanggaan luar biasa ketika berbaju
Persebaya, bahkan menurut beliau kebanggaan main untuk Persebaya hampir
melebihi segalanya.
“Kalau dulu pemain bond itu khan jarang, paling cuman Persebaya, Malang (Persema) dan yang lain. itu semua (bond-bond
tersebut) khan punya “merk”. Kalau orang dengar pemain Persebaya itu
sudah dikerubung dan itu sebuah kebanggaan luar biasa meskipun kami
tidak dibayar.”
“Dulu sepatu saja beli sendiri, baru dapat fasilitas kalau dipanggil Persebaya. Jadi kalau libur kompetisi terus sepatu jebol atau entek yo beli sendiri mas.”
Mengenai pendapatan yang didapatkan dari bermain bola saat itu beliau menuturkan,
“Saya tidak digaji, istilahnya waktu itu
bukan kontrak. karena dulu tidak ada kontrak, tidak ada jaminan atau
apa. Tapi kalau dipanggil Persebaya itu dapat uang pengganti transport thok tidak ada yang lain, bahkan setelah juara pun yang kami dapat tidak berubah. Hanya uang pengganti transport kalau dipanggil Persebaya saja.”
“Mengenai bonus yang biasanya diterima
pemain tergantung manajer tim yang memberi untuk memotivasi pemain.
Bonus itu tergantung manajer waktu itu pak Walikota (Poernomo Kasidi)
atau pak Dahlan (Iskan) nek menang oleh sak mene, sudah gitu thok.”
“Waktu itu kami main sepakbola karena senang (dengan sepakbola) dan bakat.”
“Karena untuk bisa main buat Persebaya harus ada kelebihan, kalau gak begitu ya gak bisa.”
Sungguh ironis jika belajar dari kisah
beliau saat sepakbola dimainkan oleh mereka yang tidak mendapat timbal
balik yang layak, publik sepakbola justru di suguhi permainan ngeyel dan
penuh semangat, namun apa yang sekarang kita lihat. Ketika sepakbola
dimainkan oleh pemain yang memiliki gaji selangit namun permainan
dilapangan tidak menunjukkan bukti yang sebanding dengan gaji tersebut.
“Pemain sekarang ketika sudah dicap
profesional, digaji besar,sudah merasa hebat dan males belajar/latihan
lagi. itu bedanya dengan pemain dulu.”
Penghargaan-penghargaan yang didapatkan oleh Muharrom Rusdiana
3 Final Perserikatan
Bermain di 3 final berbeda, di musim
kompetisi 1986/1987, 1987/1988, dan 1989/1990. Dengan raihan 1 juara
(1987/1988) dan 2 runner up (1986/1987 dan 1989/1990), beliau mengenang
suasana saat itu,
“Sepakbola itu khan juga faktor luck,
waktu final sama PSIS tahun 1986/1987 itu hampir semua publik bola
tanah air dukung Persebaya, namun entah kenapa waktu di final mainnya
jadi beda, mungkin anak-anak waktu itu over confidence karena sebelumnya selalu menang lawan PSIS.”
“Di final 1987/1988, saat jeda istirahat
perpanjangan waktu. Kalau pengurus memotivasi harus menang dengan janji
materi, sementara pak Misbach (pelatih) cuman bilang ayo semangat yo,
lebih kompak. Beliau tahu, dalam kondisi capek. Instruksi apapun tidak
akan masuk, beliau lebih menekankan faktor psikologi pemain.”
“Beliau memang seperti psikolog bagi
pemain. Dia istimewa dalam melakukan pendekatan pemain, dia itu seperti
bapaknya anak-anak.”
No 19
Selama berkarir di Persebaya, Muharrom
Rusdiana tidak pernah lepas dari nomor 19 kebanggaannya. Sempat memakai
nomor 2, namun kemudian berganti nomor 19 sampai akhir karir di
Persebaya.
“Saat disuruh memilih nomor saya memilih
nomor 19. Nomor punggung 19 terinspirasi dari ibu saya, beliau
meninggal pada tanggal tersebut 19 bulan 11 tahun 1973. Awalnya saya
pake nomor punggung dua.”
Di Indonesia sepakbola tidak jauh dari
faktor klenik, faktor yang diluar nalar yang hampir selalu membumbui.
Jangankan disini, bahkan kiper sekaliber Iker Casillas punya cara yang
unik setiap menghadapi pertandingan. Saint Iker selalu memakai
kaos kaki terbalik di kedua kakinya sebelum pertadingan sebagai
keberuntungan. Muharrom Rusdiana memiliki sebuah ritual yang selalu
dilakukan sebelum bertanding, yaitu nyekar ke makam ibunda tercinta.
“Sebelum bertanding saya selalu nyekar ke makam ibu saya, beliau meninggal ketika saya masih kecil. Kalau saya sudah selesai nyekar rasanya plong, didalam lapangan terasa pas.”
“Kalau Cak Sul (Syamsul Arifin) bilang, kalau naik bis semua tidak boleh lewat pintu belakang. Harus lewat pintu depan.”
“Di dalam bis yang mengangkut tim tidak boleh ada perempuan. Kalau ada (itu), pertanda buruk.”
Skuad Persebaya 1986/1987
Konsentrasi
Kebiasaan konsentrasi sebelum
pertandingan itu diajarkan oleh Januar Pribadi yang mendapat ilmu
langsung dari Anthony Pogacknik (mantan pelatih timnas). Pogacknik
mengajarkan bahwa malam sebelum pertandingan pemain harus konsentrasi
dalam menghadapi pertandingan besok. Bahkan, ketika pemainnya makan,
Tony Pogacknik rela menunggu para pemain hanya untuk mengetahui berapa
jumlah kalori yang diserap pemain.
“Sewaktu di Persebaya, bahkan didalam hotel (pun) tidak boleh guyon. semua pemain harus fokus dan konsentrasi pada pertandingan.”
“Konsentrasi dilakukan dengan cara
menganalisa lawan yang akan kami hadapi. Misal besok saya berhadapan
dengan pemain sayap lawan. Saya harus mempelajari cara bermainnya,
kelebihan dan kekurangan pemain tersebut. Ditambah dengan
masukan-masukan dari teman-teman yang lain, yang telah mengenal cara
bermain pemain tersebut.”
“Malamnya kami harus menganalisa, besok
saya ketemu pemain dengan tipikal seperti ini maka saya harus
mempersiapkan strategi seperti ini, dan ternyata semua itu juga
dilakukan pelatih top saat ini sekelas Fabio Capello.”
“Ketika AC Milan beruji coba dengan
Persib dan Persebaya, di tahun 90-an. Meskipun itu hanya sekedar ujicoba
persahabatan, Capello tidak gegabah menggunakan strategi sembarang.
Semua telah diperhitungkan matang, saya mengetahui itu dari tour guide AC Milan ketika berada di Bali.”
Muharrom Rusdiana, dulu dan sekarang
Stadion
Setiap kali bermain di semua stadion
yang ada di Indonesia, tingkat keangkeran dinilai rata-rata sama oleh
beliau. Kecuali, ada sebuah stadion yang selalu memberikan treatment spesial yaitu Stadion Mattoangin.
“Waktu kami latihan saja sudah banyak yang mengkerubuti didepan kami yang sedang latihan.”
“Mereka menyembelih ayam didepan kami untuk menjatuhkan mental, juga spanduk dengan tulisan MENANG,KELUAR HOTEL HANGUS tapi anak-anak biasa saja dan malah ketawa karena mental sudah terbentuk sejak pembinaan usia dini.”
Dan Stadion Senayan (sebelum kembali berganti menjadi Gelora Bung Karno) mempunyai cerita lucu saat bermain disana,
“Saya ini anak kampung, ketika diberitahu nanti kalau masuk final main di Gelora (Sepuluh Nopember Surabaya) rasane wes
bangga luar biasa. apalagi ketika main di Senayan, itu (Senayan) khan
tempat pilihan dan gak sembarang orang bisa main disana.”
“Dulu pemain Persebaya yang belum
terbiasa main di Senayan bisa bisa bingung bisa-bisa membawa bola
kedaerah sendiri karena bentuk Stadion Senayan khan bundar bahkan ada
yang berteriak, lho kok digiring dewe, hoy hoy.. nyerang sebelah kono?.”
Harmadi,I Putu Yasa, Subangkit,Nuryono Hariadi
(c), Usman Hadi, Helly Maura, Putut Wijanarko, Ibnu Grahan, Muharrom
Rusdiana, Budi Johannis, Syamsul Arifin
TIMNAS
Selain bermain untuk Persebaya, fullback
yang pernah bermain untuk Petrokimia selama semusim ini juga pernah
dipanggil timnas tepatnya saat persiapan untuk piala AFC (semacam piala
tiger/AFF).
“Saat timnas sedang persiapan piala AFC
saya dipanggil seleksi, saya ikut dua kali kejuaraan itu waktu itu saya
dilatih oleh Yuswardi lalu Hengky Haypon, karena kakak saya dulu sudah
menempa fisik saya, waktu itu mereka heran. Kok kuat arek iki?.”
“Padahal waktu itu ada pemain Papua yang juga terkenal memiliki fisik kuat seperti Martin Kaiba, Adolf Kabo, Ellie Rumaropen.”
“Ellie rumaropen itu kalau sekarang
seperti Boaz Salossa tapi larinya lebih kencang lagi. Kalau sekarang
lihat Okto (Maniani) larinya kelihatan kencang sedangkan dulu lebih
kencang lagi mas.”
“Ada lagi Zulkarnaen lubis. dia itu
Maradonanya asia, sampek Arab Saudi pada pengen ngontrak dia, bedanya
dulu media tidak seperti sekarang jadi pemberitaannya kurang rame.”
“Pemain-pemain dulu memiliki kualitas-kualitas bagus.”
Memperkuat timnas hingga tahun 1990
terakhir ketika timnas kalah lawan Korea dalam adu tendangan penalti
ketika memperebutkan tiket pra piala dunia. Ketika pelatnas akan
diberangkatkan ke Jerman beliau pulang ke tanah air,
“Waktu persiapan saya ikut, pas mau
berangkat (ke Jerman) saya pulang. Saya sampek dipanggil pak Acub Zaenal
dan Pak Kardono namun Nirwan Bakrie menolong saya, waktu itu saya
dianggap tidak nasionalis dan indisipliner”.
Tindakan tersebut dilakukan bukan tanpa
alasan, melainkan karena saat itu kondisi tim sudah tidak kondusif
lantaran tim pelatih hanya memprioritaskan pemain dari daerah tertentu
saja. Mendengar penjelasan tersebut petinggi PSSI bergerak cepat,
“Ketika ditelusuri ternyata keluhan saya betul, pelatih dipecat bahkan pak Acub yang orang jatim sampek marah dengan ,i>misuh-misuh. Waktu dipanggil lagi saya menolak.”
Kejadian unik terjadi ketika timnas yang
dipersiapkan ke Jerman beruji coba dengan Persebaya di Tambaksari.
Karena beliau tidak masuk dalam sebelas pemain inti melawan Persebaya,
sehingga beliau tidak datang bersama Timnas. Beliau malah memilih masuk
tim Persebaya yang berhadapan dengan timnas. Begitu ujicoba
dilaksanakan, pelatih yang “aman” dari pemecatan tersebut (om Berce)
kaget dan setelah pertandingan berkata,
“Saya itu masih mengharapkan kamu, saya
sengaja tidak memainkan kamu. Itu memang bagian strategi, kalau kamu
saya mainkan pas ujicoba terus cedera siapa yang menggantikan ???”
“Sebetulnya saya lebih abot ke Persebaya, saya khan pengen membela Persebaya.”
im nasional
Tentang dualisme, local player dan suporter
Bicara tentang konflik dualisme di beberapa klub di indonesia beliau berpendapat,
“Itulah jadinya kalau sudah masuk ke sepakbola, kalau ,i>wes. dualisme wah bahaya, entek wes
apalagi yang dualisme itu klub klub yang besar besar, kompetisi
Persebaya bagus dan jalan. begitu juga Jawa Timur, itu sebabnya kita
(Jawa Timur) disebut barometer nasional”
“Ngapain itu pemain yang penting pembinaan.”
“Persebaya sekarang bisa jadi kuat hanya
dengan pemain lokal dari kompetisi internal. Namun, pelatih dan
manajemen berani tidak memainkan mereka??? iya kalau menangan, kalau tidak ???.”
“Semua itu khan butuh proses gak bisa instan. Dan sepakbola sekarang yang ada adalah instan. Persiapan satu musim, untuk satu musim. Tidak jangka panjang.”
“Dulu regenerasi pemain senior dan
junior sangat baik, pemain senior yang sudah menua digantikan dengan
juniornya. ketika Cak Sul sudah menua, junior macam Putut Wijanarko atau
Yusuf Ekodono sudah siap menggantikan dan mereka sudah sempat bermain
bersama.”
“Soal Komunikasi antara pemain senior
dan junior, komunikasi antara pemain dengan pelatih terjalin dengan
baik. Ini sangat memudahkan.”
“Dulu kami semua (pemain dan pelatih)
satu mes, jadi untuk koordinasi lebih gampang kalau sekarang khan tidak
karena pemain bintang dan pelatih di apartemen.”
“Soal suporter dulu itu mungkin rekor,
waktu Persebaya vs Persija di final. Dan itu suporter masih belum
seperti saat ini (elemen / kelompok suporter) istilahnya mungkin korlap
ya, sekarang kalau tidak salah ada sekitar 56 wadah suporter, sedangkan
kalau dulu itu enak suporter itu tidak digerakkan tapi bergerak
sendiri.”
“Kalau sekarang itu kelihatannya seperti
beda, kesannya datang ke stadion cuman ikut-ikut saja hura-hura saja,
lagu-lagunya juga didengar tidak pantas, seharusnya mereka mendukung tim
dengan semangat agar pemain ikut semangat.”
“Mosok kata-kata gak pantes, wes gitu
pas Bojonegoro main ambek Persebaya tapi seng dicandak malah Solo,
Malang, yo opo iku ga onok kaitane, kalau gak gitu kata-kata dibunuh
saja, karepe opo iku ?????.”
Demikian wawancara singkat kami dengan
pemain bernomor punggung 19, Muharrom Rusdiana. Jaman memang sudah
berubah, sepakbola sudah bergerak semakin jauh dari amatir. Namun, dari
masa lalu yang hanya mungkin dijadikan sebagai kaca benggala itu. Kami
menemukan nilai-nilai yang tidak didapatkan saat ini, nilai-nilai yang
menurut kami layak untuk tetap di teruskan keabadiannya.
Memang, Cak Muh sudah tidak bermain
sepakbola bersama Persebaya. Namun, namanya tetap dikenang sebagai
pemain besar klub sepakbola bentukan Pamoedji ini. Bek Kanan yang selalu
membantu penyerangan.Bek Kanan yang tidak ragu mematahkan serangan
lawan. Bek kanan yang memecah kebuntuan team untuk mencetak gol.
Pantaslah kami mendambanya dan lantang berseru bahwa QUALITY NEVER GOES OUT OF STYLE.
0 comments:
Post a Comment