Maura Hally, Ball Winning Midfielder

Pada kesempatan lalu kami menemui Yongky Kastanya, dari beliau tertinggal satu kalimat pernyataan yang merupakan kunci untuk segera kami cari tahu. “Duet ideal saya dengan hally,kami saling melengkapi.”, itu pernyataannya.
Berbekal informasi, melajulah kami menuju timur surabaya, tempat dimana beliau bermukim. Perawakannya masih sehat sama seperti kala bermain di jaman-jaman keemasan,era 80an.
Awal Karir, PSAD dan Persebaya Junior
“Orangtua suka sepakbola meski bukan pemain bola. Sejak kecil saya sudah suka sepakbola, saya sendiri tidak tahu kenapa. Itu (jiwa sepakbola) alami.”
“Saya lahir di Malang, di kota itu saya sudah bermain sepakbola. SD saya pindah ke Surabaya. Klub pertama saya PSAD Bhaskara Jaya, saya masuk tahun 1972.”
Karena kecintaannya kepada sepakbola dan semangat ingin terus berkembang, beliau tak segan menambah porsi latihan sendiri diluar latihan rutin,
“Awalnya orangtua menginginkan saya ke bidang lain (selain sepakbola) tapi saya punya jiwa sendiri. Waktu SD, setiap pagi saya berlari (latihan fisik) sendiri tanpa disuruh orang lain, itu inisiatif sendiri.”

Maura Hally muda
Kegemaran pada si kulit bundar sejak kecil membuat beliau berangan-angan kelak suatu saat bisa memperkuat Timnas dengan logo Garuda di dada.
“Saking pengennya punya kaos Garuda (Timnas) di dada, saya sampek beli patch Garuda di Keputran kemudian saya jahit di kaos oranye kemudian jalan dan bergaya seperti pemain Timnas.”
Tak lama setelah memperkuat PSAD beliau dipanggil memperkuat Persebaya Junior dan membawa Persebaya Junior menjuarai Piala Soeratin Jatim, sayang prestasi tersebut tidak berlanjut di level yang lebih besar lagi (Piala Soeratin di Jakarta).
“Setelah (PSAD), saya ikut Persebaya Junior tahun 1979. Jamannya Muharrom (Rusdiana), Sasono Handito, Nuryono Hariadi. Pelatihnya waktu itu J.A Hattu, Bapaknya Ferrel (Hattu).”
“Di Persebaya Junior kami menjuarai Piala Soeratin Jatim, dan kami ke Jakarta, sayangnya kami gagal di Jakarta.”

Persebaya junior
PON Lampung dan juara Galatama
Kerja keras beliau selama di PSAD dan Persebaya Junior diendus oleh salah satu tim Galatama, Jaka Utama Lampung.
“Ada tim dari Lampung (Jaka Utama), waktu itu di PSAD saya jarang bermain. Kemudian ada teman yang kakaknya main di Jaka Utama mengajak saya ke penginapan Jaka Utama, kebetulan tim Jaka Utama dari Lampung datang dan uji coba dengan PSAD, waktu itu usia saya 17 tahun. ”

Jaka Utama Lampung
“Di penginapan saya ketemu dengan Jacob Sihasale,kakak teman saya bilang : Cob, ini anaknya.”
“Kemudian saya ditawari bermain ke Galatama di Lampung, saya oke saja karena suka sepakbola.”
Di Jaka Utama, beliau sempat dipandang sebelah mata lantaran posturnya yang memang mungil. Maura Hally muda tidak pernah merasa down, hal itu justru semakin memotivasi dirinya.
“Di Lampung saya jarang dimainkan, tapi tidak apa-apa karena saya punya prinsip saya tidak mengejar materi tapi prestasi, saya rutin menambah porsi latihan sendiri.“
“Bahkan bosnya Jaka Utama sempat bilang: Cob,kamu bawa anak kok kecil, bisa apa dia ???.”
“Tenang saja,pak”, begitu jawaban Jacob Sihasale.
Beliau juga mengagumi Jacob Sihasale striker Persebaya di era 60-an yang menjadi pelatih beliau di Jaka Utama dan Yanita Utama,
“Saat itu Jacob sedang diwawancara wartawan di lapangan, tiba-tiba Abdul Kadir berteriak sembari menendang bola ke atas kepala Jacob. Jacob spontan langsung memutar badan untuk meloncat dan melakukan salto dan bola tendangan Jacob meluncur mulus di sudut gawang. Kami semua dan wartawan yang mewawancara seperti tercengang melihat aksi Jacob”
“Lain dengan Abdul Kadir, tendangan kaki kirinya kencang sekali.”
“Selalu bilang Assalammualaikum begitu menendang. Bola keras masuk ke gawang, tanpa berhasil dihalau kiper.”
Bagi beliau perjalanan jauhnya ke Lampung meninggalkan orang tua di Surabaya semata-mata bukan karena faktor materi melainkan keinginan untuk meraih prestasi, kerja keras serta kesabaran beliau akhirnya terbayarkan dengan gelar pertama. Memperkuat tim PON Lampung dan meraih medali emas untuk pertama kali dalam sejarah keikutsertaan Propinsi Lampung. Prestasi itupun mengangkat namanya di kancah persepakbolaan nasional.
“Saya bergabung dengan tim PON Lampung tahun 1981, itu pertama kali Lampung juara PON. Waktu itu difinal kami ketemu Sumatera Utara, pemain Sumatera Utara banyak dari Klub seperti Mercubuana, PardedeTex, PSMS.”

Medali Asean, Medali PON 1981, Medali Persija Cup
“Saya ikut PON 85 bersama Jawa Timur, tapi tidak juara.”
Selepas Jaka Utama Lampung beliau hijrah ke klub Galatama lain, tepatnya dikota hujan Bogor memperkuat Yanita Utama. Di Yanita persaingan tidak semudah yang dibayangkan, Maura Hally harus berlatih ekstra keras untuk bisa dimainkan secara permanen.

Yanita Utama
“Di Yanita semua pemain bintang, tapi inisiatif pemain sangat tinggi, itu bagian dari menghargai diri sendiri juga bukti dari profesionalisme. Kami punya tekad begitu datang ke klub harus semangat agar bisa terus bermain, jangan setelah masuk klub malah ogah-ogahan. Kalau kita berprestasi khan yang bangga juga kita sendiri, orangtua, keluarga teman-teman dan supporter.”

Medali Juara Galatama bersama Yanita Utama
Tahun pertama di Yanita Utama, klub tersebut belum bisa berbicara di ajang kompetisi Galatama. Baru ditahun berikutnya Yanita Utama mencatat sejarah,

saat menerima medali juara
“Setahun kemudian Yanita Utama membeli pemain seperti Joko Malis, Bambang Nurdiansyah, Herry Kiswanto, Rudy Keltjes, Elly Idris. Kompetisi galatama saat itu dibagi jadi 2 wilayah dan kita sukses jadi juara 83/84 dan 84/85.”

Yanita 83/84
“Dan mewakili Indonesia di kejuaraan ASEAN, di final kita kalah sama Bangkok Bank (Thailand) 2-0. Di awal permainan kami mendapat peluang lewat penalty, sayang Joko Malis gagal. Andai saja itu gol, mungkin hasil akhir berbeda.”

Yanita 84/85
Kembali ke Surabaya
Hijrah dari Yanita Utama, Maura Hally sempat bergabung sebentar dengan Kramayudha Tiga Berlian (Galatama) namun beliau tidak betah setelah melihat kondisi tim yang tidak kondusif. Akhirnya beliau memutuskan kembali ke kota yang menjadi awal karir sepakbolanya, Surabaya. Dan bersiap menorehkan catatan emas bersama klub kebanggaan arek-arek suroboyo,Persebaya.
“Yanita utama ‘goyah’ karena ada problem keluarga pemilik, selanjutnya saya pindah ke Kramayudha Tiga Berlian(KTB), setelah melihat kondisi dalamnya (internal), saya putuskan balik ke Surabaya tahun 1985.”
“Suryanaga, itu klub saya di Surabaya, klub itu dulu gabungan dari pemain-pemain Niac Mitra seperti Dullah Rahim, Syamsul Arifin, Budi Aswin dan Joko Malis.“

suryanaga
“Saya dulu sebelum Jaka Utama bubar saya diminta IM (Indonesia Muda), dan yang paling ngotot meminta saya itu pak Wenas. Namun, akhirnya saya masuk Surabaya ke Suryanaga, dari situ awal dari Persebaya tahun 1985.“
“Tahun 87/88 kita (Persebaya) juara, dari situ diadakan kejuaraan antar klub seluruh Indonesia, Surabaya diwakili Suryanaga sebagai juara kompetisi Persebaya. Di turnamen itu Suryanaga jadi juara antarklub nasional setelah difinal mengalahkan Bina Taruna padahal saat itu Bina Taruna banyak pemain bagus seperti Ponirin Meka.”
Beliau mengenang tahun-tahun awal memperkuat Persebaya (tahun 1985/1986), di tahun itulah pondasi pembentukan tim kuat dibangun, alhasil Persebaya begitu dominan di kancah sepakbola nasional pada akhir dekade 80-an.
“Dulu seleksi (masuk Persebaya) sangat ketat dan ada tahap-tahapnya, Perserikatan lebih ketat dari sekarang tidak sembarang orang bisa masuk Persebaya.”
“Saya masuk Persebaya dan langsung tim senior, waktu itu kita main disini (Surabaya) kita juara grup, kemudian pas main di Semarang kita kalah ‘dikerjai’ bahkan hampir degradasi, pelatihnya (Alm)Pak Kasmuri dan Pak Ahmad.”

Persebaya 1986/1987
“Kita main di Semarang, dikerjai Semarang dan Ujung Pandang. Ketuanya (Persebaya) Pak Sugardjito.”
“Setelah itu ketuanya dipegang Pak Walikota (Poernomo Kasidi) mengadakan seleksi lagi,Rusdy dan Bodro muncul (sebagai pelatih).”
Juara Perserikatan 87/88 dan Sepakbola Gajah
Setelah sempat hampir degradasi pada musim sebelumnya, Persebaya mengalami peningkatan prestasi. Terutama sejak di nakhodai oleh Walikota Surabaya saat itu,Poernomo Kasidi. Skuad Persebaya saat itu dihuni pemain–pemain berkualitas.
“Itu (87/88) kita sedang matang-matangnya, dan semuanya diawali dari komunikasi, didalam dan diluar lapangan, dari diskusi di forum itu tidak ada pemain bintang semua sama”
“Waktu final lawan Persija, skor 1-1 instruksi pelatih cenderung biasa saja dan terkesan aneh seperti,‘ayo kita harus menang atau hati-hati kuasai lini tengah’.”
“Peran pemainlah yang terbesar.”

Medali Runner up 1986/1987 dan Medali Juara 1987/1988
Persebaya 1987/1988 dihuni pemain-pemain yang mengerti benar tentang sepakbola,
“Putu (Yasa) orangnya temperamen tapi tanggung jawab, dia bagus bola atas dan bawah dia juga instruksi teriak-teriak ke pemain lain, belum ada penjaga gawang seperti Putu.”
“Kalau Muharrom (Rusdiana) overlaping bagus, tapi heading dia tidak berani, harus ada covernya tapi overlapingnya timingnya bagus sekali, pemain lain teriak dia tinggal angkat atau kadang tendang sendiri.”
“Kalau di kiri ada Usman Hadi dan Zainal Suripto. Usman Hadi overlaping bagus bertahan juga bagus, Zainal Suripto di Final 1988 menggantikan Usman Hadi karena cedera.”
“Sementara Nuryono (Hariadi) orangnya taktis, bermain sabar, tenang dan safety. Dia bisa mengatur dan tidak emosional.”
“kalau Subangkit dia bagus di bola-bola atas dan jaga lawannya.”
“kalau saya intercept nya dan mengcover posisi yang lowong.”
“sementara Yongki dan Budi yang ngatur, kalau Budi bertahannya jelek tapi kalau sudah dapat bola dia seperti punya mata 10 dan bisa membaca permainan, kalau Syamsul teriak Bud, Budi sudah tahu harus bagaimana.”
“Aries itu coming from behindnya bagus, dia bersaing dengan Seger Sutrisno, tapi Aries lebih bagus, dia sering muncul dari sayap.”
“Kalau Syamsul pintar mencari celah kosong di pertahanan dan bagus di finishing, kita sering mengandalkan counter attack, dari situ sulit di prediksi karena begitu Budi pegang bola, saya, Aries, Syamsul, Taqim, Yongky langsung bergerak.”
“Mustaqim orangnya bagus gocekannya.”
“Sistem ini pondasinya dibangun oleh Rusdy Bahalwan tahun 1986.

Persebaya 1987/1988
Sukses mengangkat trofi juara nasional, memberikan kesan tersendiri bagi Maura Hally terlebih pada kompetisi tersebut Persebaya menjadi sorotan setelah insiden sepakbola gajah di Surabaya.
“Perasaan juara kita seneng, sebelumnya kita diolok-olok soal sepakbola gajah waktu itu ada momen pemilihan wakil presiden Sudarmono sepakbola gajah ramai.”
“Bahkan pemain Persija juga kecewa setelah kalah di final.” “Piye iki ape oleh bonus malah ga sido, itu ucapan Rahmad Darmawan.”
“Padahal waktu itu mereka (pemain Persija) di janjikan (Suzuki) Jimny satu-satu.”
“Itu (sepakbola gajah) adalah kesepakatan kita,ini dikarenakan kejadian di tahun 1985. Kalau Semarang menang atau draw, kita yang lolos ke Jakarta. Tetapi Semarang mengalah dari Makassar ,golnya penalti akhirnya kita out nomor 9.”
Kompetisi Perserikatan 1987/1988 diwarnai kontroversi, yaitu terkait sepakbola gajah yang dilakukan Persebaya kala menghadapi Persipura di Tambaksari, saat itu Persebaya menyerah dengan skor sangat mencolok 12-0.
“PSIS juara (bertahan) sebelumnya, bahaya kalau kita ikut bawa PSIS, lebih baik ngajak yang lain (lebih lemah dari PSIS, agar mengurangi lawan kuat di Senayan) ini bagian dari taktik.”
“Kita sepakat karena Sepakbola adalah gengsinya orang-orang besar, walikota dll. Kita kasih Persipura, dengan ketentuan Persipura ngasih kita di senayan, karena misi kita menyelamatkan sepakbola Papua, Persipura adalah Brazilnya Indonesia.”
“Waktu itu Ujungpandang main dengan Manokwari, kalau Manokwari menang 6-0. kita 4-0, kita dan PSIS lolos. Bahaya!.”
“Akhirnya kita terserah saja, mengikuti taktik. Yang main pemain cadangan semua.”
“Di Senayan kita kalahkan Persipura 3-1, lucunya kita ketinggalan 1-0 lewat Metu Duaramuri. Metu sempat menyesal merayakan gol tersebut, lalu kita balas dan Persebaya menang.”
Skandal sepakbola gajah saat itu sempat menjadi isu nasional, ada yang bisa memahami tidak sedikit yang mencaci, tim kepengurusan pun sampai ikut memberikan klarifikasi.
“Setelah sepakbola gajah kita jadi sorotan, Pak Agil dipanggil Pak Walikota. Pak Walikota menanyakan kenapa kok sepakbola gajah. Pak Agil bilang itu bagian dari taktik menuju juara,kalau kita gagal juara saya mundur.”
Ada yang berkata, Rivalitas itu hanya 2×45 Menit di Lapangan. Itu sangat tepat untuk menggambarkan suasana rivalitas di era perserikatan,
“Saat Perserikatan ada semacam tradisi welcome party, yaitu mengundang tim tamu ke sebuah jamuan makan malam bersama dengan seluruh jajaran pemain maupun pengurus.”
Welcome party itu dilaksanakan malam sebelum pertandingan semua ngumpul jadi satu, saling bercanda, bernyanyi dalam nuansa keakraban. Tapi besoknya dilapangan sudah beda lagi, kami bermain sebagai lawan setelah pertandingan kami tetap kawan.”

welcome party saat menjamu PSIS. (alm) Ribut Waidi (putih) berjoget dengan Mustaqim
Setelah membawa Persebaya juara tahun 88, Maura Hally sempat bermain untuk Petrokimia Putra (Galatama) namun tidak sampai setahun dan kembali lagi ke Persebaya. Kembali di Persebaya beliau nyaris mengulangi lagi prestasi seperti pada tahun 88 sayang di final 89/90 dikalahkan oleh maung Bandung dengan skor 2-0,
“Waktu kalah dari Persib (89) ada yang bilang kalau kita kena suap, padahal tidak kami bermain sepenuh hati itu soal harga diri kami tidak akan terima (uang suap), waktu itu managernya Pak Dahlan.”
Di penghujung karirnya beliau memutuskan mengakhiri karir di Persebaya, klub yang mengajarkan sepakbola sekaligus membesarkan namanya tepatnya di awal Ligina.
“Terakhir main di Persebaya tahun 1994 main bareng dengan Yongki Kastanya, setelah itu saya pensiun, sebetulnya fisik masih kuat, cuman pelatih lihatnya terlalu negatif ‘wah sudah tua bisa apa maura?’ mereka hanya melihat sekilas saja”

saat bertemu Gubernur Wahono
Karir di Timnas
Tidak hanya klub, beliau juga sempat dipanggil masuk training camp timnas di Jerman, pelatnas di Jerman sebetulnya juga memanggil Muharrom Rusdiana, namun Muharrom Rusdiana batal bergabung
“Sempat juga dipanggil Timnas, ikut pelatnas di Jerman Ricky Yakob, Edy Harto, Hery Kiswanto, Robby Darwis, Patar Tambunan, Putu Yasa itu untuk persiapan piala dunia kita kalah dari Korea Utara dan Jepang.”
“Waktu di Jerman kami sempat sparring dengan Roda JC dari Belanda, disana lapangan untuk pertandingan dan lapangan untuk latihan beda, jadi stadion utama tidak boleh dipakai latihan, lha kita (Indonesia) stadion satu di pake rebutan dan mau dibikin mall lagi.”
Momen menggunakan jersey timnas akhirnya datang juga, tepatnya saat memperkuat Timnas menghadapi untuk kualifikasi Piala Dunia, sayang tim tersebut gagal. Momen saat mengenakan seragam timnas membuat beliau bangga sekaligus teringat masa kecilnya.
“Bangga sekali rasanya bisa membela timnas, pengalaman itu mengingatkan masa kecil saya ketika saya menjahit patch Garuda di kaos saya. Entahlah apa yang saya bayangkan seperti didengar oleh Tuhan dan kemudian dikabulkan.”
Beliau kemudian melanjutkan ceritanya,
“Ketika saya ke Gereja tiba-tiba muncul pertanyaan dibenak, kapan saya bisa main di Galatama, atau kapan saya jadi cover sebuah majalah dan semua itu menjadi kenyataan.”

saat berada di Jerman
Tentang Pembinaan Pemain dan Pemain Sekarang
Pengalaman beliau sebagai pelatih memberikan gambaran bagaimana pembinaan pemain seharusnya dilakukan dan perbedaan pemain dulu dan sekarang,
“Membentuk tim tidak semudah ucapan komentator yang bilang gini gitu, mereka tidak tahu, karena mereka bukan orang bola, kita harus punya semangat untuk memberikan yang terbaik dan menikmati permainan sepakbola itu sendiri, kalau kita main bagus, semangat penonton pun juga akan senang. Jangan main ogah-ogahan, ini yang tidak dipahami pemain jaman sekarang”
“Disitu pentingya pembinaan, karena dari sana diajarkan bagaimana bermain sepakbola, menjiwai sepakbola”
“Sama seperti yang lain saya juga menambah porsi latihan sendiri, arti profesional adalah menghargai diri sendiri, waktu di Yanita saya bermain dengan pemain-pemain hebat, Mundari Karya, Elly Idris, Arif Hidayat mereka pemain hebat persaingan sangat ketat tapi saya harus bisa”
“Ada banyak instruksi kamu harus begini begitu, saya tidak pernah membantah saya oke saja, Wiel Coerver sempat bilang you Brazil karena main saya terinspirasi oleh Brazil”
Merujuk pernyataan legenda Belanda,Johan Cruyff. “Football is simple. But the hardest thing is to play football in a simple way.”
“sepakbola itu seni, improvisasi dilapangan itu yang dilihat orang, jadi jangan main asal-asalan, penonton lihat enak, pertandingan aman tidak ada kerusuhan, era saya dulu, saya tidak ingat ada kerusuhan”
Komunikasi merupakan hal penting dalam sepakbola, kultur komunikasi di Persebaya sebetulnya sudah ada sejak era perserikatan. Komunikasi tersebutlah yang mampu membentuk chemistry diantara pemain sehingga dapat bermain sebagai satu kesatuan,
“Bagi saya kekompakan skuad saat itu belum tertandingi hingga sekarang, karena sebetulnya kuncinya di pemain sendiri, pelatih tinggal mengarahkan saja, kebanyakan semuanya dari pemain, komunikasi berjalan lancar. Syamsul sering bilang Rom, bolane sakmene yo, begitu bola lepas Budi sudah paham, langsung masuk dan finishing saja.”
“kami sering ngumpul, tapi tidak di cafe atau mall, karena dulu tidak sebanyak sekarang, biasanya kami ngumpul dan ngobrol-ngobrol di mess saja”
“Kekompakan terbentuk karena kita semua tinggal di mess, kadang kita juga nyangkruk dan ngobrol sepakbola, saking kompaknya sampai kita jarang membaca permainan lawan, yang ada lawan yang mati-matian mencoba membaca kita aneh khan? kita selalu bermain dengan cara kita sendiri, dengan pola sendiri”
“Misalnya Sartono Anwar (pelatih PSIS 86), waktu masuk final dia itu bingung, setiap final turnamen kok selalu kita (Persebaya), begitu juga dengan Persib, saya dapat bocoran dari teman kalau pelatih Persib memberi instruksi kalau lawan Persebaya wing back jangan maju, tim harus sabar tapi juga masih kalah dari Persebaya.”
“waktu itu kita tidak egois, tidak ada pemain bintang semua sama, sampai Sartono bilang ‘piye iki carane ngalahno Persebaya’ itu semua terjadi karena kita kompak.”
“jika sudah bisa menjiwai sepakbola main 2×45 menit jadi tidak terasa, karena senang dulu sesama pemain sering debat untuk cari solusi, misalnya kita tahu Budi kalau bawa bola bagus, tapi bertahan tidak, dari debat itu kita jadi tahu kalau bertahan urusan yang lain, bola berhasil direbut langsung kasih ke Budi.”
“juga soal Muharrom, kalau dia naik harus ada yang mengisi posisinya, diskusi terus berkembang, pelatih hanya diam saja karena tim sudah menyatu, kami sudah satu hati.”

bersama Rinus Michels
Media dan Rivalitas
Kencangnya pemberitaan media tentang sepakbola akhir-akhir ini juga mendapat perhatian tersendiri dari Maura Helly. Bagi beliau pemberitaan media akhir-akhir ini justru lebih banyak memberikan dampak negatif terutama terkait dengan rivalitas antar suporter.
“dulu pemberitaan media juga besar-besaran tapi kita biasa saja, media memang begitu kalau mau kita kencing saja bisa ditulis sama wartawan, contohnya Budi Johanis, dia sering jadi pemberitaan tapi Budi dan yang lain biasa saja, karena di otak kita bukan popularitas tapi bagaimana Persebaya bisa juara”
“kadang pemberitaan media yang berlebihan itu jadi bahan guyonan ketika diluar lapangan, misalnya media menulis Budi main bagus padahal sebetulnya tidak, pemain-pemain lain menggoda opo Bud main koyok taek ngono sambil tertawa sekaligus interospeksi agar tidak terlalu besar kepala”
“Atau Syamsul yang ditulis koran kemenangan kita dirampok kita menggodanya ‘jancok kerampokan rek, opo Syul heading ngono tok kok kerampokan, coba koen nge golno ’, tapi kalau masuk ya ‘kita ga sido ke rampok rek, semua sambil tertawa tidak ada mangkel atau nggerundel dibelakang”
“juga dengan subangkit, taek koen iku njogomu (defend/marking) iku lho, akhirnya dari situ muncul diskusi dan keluar solusi”
Kamipun bertanya kepada beliau apakah masih intens mengikuti perkembangan sepakbola saat ini terlebih Persebaya Surabaya
“saya tidak terlalu mengikuti Persebaya sekarang, paling kadang-kadang ke lapangan pas eranya Jacksen jadi pemain setelah itu tidak, saya senang dengan cara mainnya waktu itu”
“kita sempat disebut Brazilnya asia, itu realita bukan polesan media. Maaf ya kadang saya sendiri ikut jengkel kalau baca koran wartawan sekarang itu ga ngerti bola asal nulis ae, baru gocek gini disebut bintang tapi mereka bukan orang bola mereka tidak mengerti dan mereka bisa menaikkan sekaligus menjatuhkan”
“misalnya Andik, silakan ekspose, Andik memang bagus tapi jangan berlebihan, karena mereka harusnya ikut menjaga pemain bintangnya jangan ngejar berita aja”
Beliau juga menyoroti pemberitaan media yang timpang ketika memberitakan bonek, pemberitaan tersebut yang justru memperkuat stigma negatif pada diri bonek, sehingga mengurangi obyektifitas dalam memahami permasalahan suporter di Indonesia.
“jaman dulu suporter benar-benar mendukung, saya tidak percaya dengan media yang menjelek-jelekan bonek katanya mobil dipukul, mana buktinya tujukin dong? Saya sampek sakit mendengarnya, harusnya kita telusuri kenapa bonek di stigma seperti itu, kalau pemain main bagus, skill bagus, semangat meskipun kalah suporter tidak akan marah, yang harus dibenahi pertama ya pemainnya ya timnya”
“media bilang bonek nyerang mobil, saya pernah nelpon media yang menjelek-jelekan bonek, katanya diwaru bonek bikin rusuh, anda salah mana buktinya di sini kosong ndak ada bonek. Mereka justru jadi provokator dan menjelek-jelekan bonek, ini tidak bener”
Pemain keturunan Flores ini menyampaikan arti penting suporter bagi tim sepakbola dan pandangan beliau tentang rivalitas sepakbola di Indonesia
“sepakbola tanpa suporter semuanya hambar, sepakbola justru bisa mempersatukan bangsa, sakit mendengarnya ketika orang tidak mengerti sepakbola tapi ngomong sepakbola, mereka tidak menjiwai sepakbola (olahraga) hakikatnya adalah sportifitas”
“itu (sportifitas) perlu ditanamkan sepakbola itu skil bukan otot, kalau ada pemain yang berkelahi, ya mereka berdua suruh keluar dan berkelahi sendiri, hal itu akhirnya malah tidak mendidik bonek larinya ke permusuhan”
“Itu (rivalitas) yang membuat opini, statement seperti Arema jancok, itu gak perlu dan media gak boleh mendramatisir akhirnya bonek ikut terbawa rivalitas tidak jelas. Kalau membenahi rivalitas pertama harus dari klub, pemain harus bermain semangat jangan klemar-klemer njaluk simpati suporter. Pertandingan juga jangan direkayasa, sekarang aja tim tanpa mental juara bisa juara.”
“mereka (orang tua) seharusnya jangan membiarkan anak kecil pakai atribut dengan tulisan jelek (Arema Jancok), harusnya mereka mengajarkan anaknya sepakbola yang bener itu seperti apa, bukan ngajarin misuh tok ae.”

bersama Persebaya Legend
Karir Pelatih
Sepakbola memang sudah mendarah daging, meskipun saat ini aktif sebagai pegawai PDAM kota Surabaya, beliau tidak pernah benar-benar meninggalkan sepakbola. Maura Helly juga aktif sebagai pelatih, berikut penuturannya
“saya pernah membawa POPNAS Jawa Timur juara nasional salah satu pemainnya Charis Yulianto, kalau pemainnya memang bagus ya masuk kalau jelek ya tidak, pernah saya mau disogok agar mau memasukkan pemain tertentu tapi saya tolak kalau pemainnya bagus ga perlu duit justru akan saya referensikan naik.”
“kemudian saya pegang tim untuk turnamen Lion Cup di Singapura, kebetulan jadi juara, salah satu pemainnya Uston Nawawi masih 15 tahun, pesertanya dari beberapa negara, Malaysia 2 tim, Filipina, Singapura pemain terbaiknya dari Indonesia”

Medali lion cup
“sepakbola itu proses, bukan sekedar mengumpulkan orang yang bisa nendang bola, semua itu proses lihat saja Spanyol. Seorang striker harus berpikir apa yang akan dilakukan bek jika saya begini, begitupun sebaliknya seorang bek harus berpikir bagaimana jika triker bergerak. Harus bisa saling membaca permainan lawan”
“orang sekarang selalu melihat hasil akhir, bukan proses ‘enak yo dadi Messi’, tapi ga pernah mencoba belajar bagaimana Messi bisa seperti itu, njaluke enak tok tapi ga gelem susah”
“kalau memantau pemain yang saya lihat pertama adalah skill, kedua baru mental. Mental itu mental diluar lapangan itu menunjukkan kualitas pemain”
“Mat Halil dulu waktu dulu saya lihat pertama kali asline pemain depan, lalu dimainkan jadi pemain belakang dan sekarang balik lagi main didepan”
“bisa (membentuk tim kuat dengan 11 pemain lokal Surabaya), tergantung kita saja cuman karena sekarang ada aturan pemain asing sayangnya pemain asing itu sering di salah gunakan oleh agen-agen pemain, agen-agen ini siapa? Orang-orang fiktif yang tidak jelas”

bersama skuad lion cup
Politik dan Kisruh Sepakbola
Kisruh sepakbola nasional maupun dualisme Persebaya membuat prihatin semua pihak, termasuk mantan pemain, sebagai salah satu pemain yang ikut dibesarkan Persebaya beliau merasa prihatin.
“itu (perpecahan Persebaya) dampak dari atas (PSSI) akhirnya turun kebawah, itu yang ada dualisme-dualisme akhirnya sepakbola yang jadi korban. Harusnya kita fokus ke pemain muda, anak kecil, infra struktur, ojok ngurusin politik tok ae. Ga usah janji-janji ga jelas, ape piala dunia lah ape yang lain, benahi dulu pembinaan, kalau begini terus jangankan 20 tahun sampek kiamatpun kalau sepakbola masih kisruh seperti ini kita sulit ke piala dunia”
“sakit, rasanya sakit sekali melihat perpecahan Persebaya dan PSSI, berapa juta itu masyarakat yang dibohongi dengan kekisruhan itu, orang-orang itu berbicara bohong kepada masyarakat padahal mereka bukan orang bola”
Selain itu beliau juga prihatin melihat aksi kekerasan yang masih terjadi dilapangan, pemain suporter dan pengurus harusnya bisa memberi contoh yang benar
“pemain/pelatih ikut memukuli wasit atau sikap mogok, cengeng, dan cari-cari simpati penonton itu dampak dari sistem yang ga bener, tapi itu (sistem yang ga benar) tidak boleh dijadikan pembenar untuk melakukan hal-hal tersebut (memukuli wasit, mogok, cengeng, cari simpati penonton)”
“Lapangan (karanggayam, tambaksari) yang ada sekarang tidak layak. Semua tergantung pengelolanya mau serius ga ?”
“tapi ya jangan menggunakan alasan lapangan jelek untuk menutupi skill yang memang jelek, kalau lapangan bagus tapi main masih jelek ya itu menunjukkan skill, dulu lapangan tidak sebagus sekarang tapi skill pemain cukup mumpuni”
“kalau dikritik kemudian dimusuhi ‘koen iku isone ngomong tok’ padahal yang dikritik tidak mau interospeksi dan berubah. Pemain sekarang bukan lagi artis di lapangan tapi lebih sering jadi artis diluar (lapangan)”

bersama jersey pertama dan medali2 kemenangan
Serba-serbi Maura Hally
Ada beberapa kisah menarik diluar teknis sepakbola yang menarik ketika dipelajari antara lain soal nomor punggung
“nomor pungggung saya 10, sebetulnya saya lebih suka 9, sembilan khan ‘qiu’ (permainan kartu) tapi sembilan sudah ada yang memakai, saya mengalah dengan pemain yang lebih muda biar dia semangat”
Tidak seperti Syamsul Arifin atau Muharrom Rusdiana yang memiliki ritual khusus sebelum berlaga di lapangan sepakbola, Maura Helly justru punya kebiasaan aneh sebelum masuk kelapangan,
“saya tidak punya ritual khusus sebelum bertanding, kadang saya juga sering tegang sebelum pertandingan, perut mual dll, tapi semua itu hilang ketika berada dilapangan”
“pemain lokal idola saya Herry Kiswanto, dulu main bareng kita juga masih sering kontak. Kalau pemain luarnegeri BOJAN pemain Bayern Muenchen ada juga Bernd Schuster, atau Giancarlo Antognoni juara dunia Italia 1982”
Layaknya pemain legend diklub-klub besar eropa yang tetap bekerja bagi klub kebanggaannya, Maura Helly menjabarkan kurangnya kepedulian klub (pengurus klub) terhadap mantan pemain Persebaya
“tidak (soal dimintai saran oleh kepengurusan berikutnya) itu justru kita yang inisiatif tapi orang-orang itu tidak mau menerima, akhirnya kita ikut cuek juga”
“pernah diundang nonton tapi anak-anak (skuad 88) tidak mau karena melihat orang-orang itu kesannya sok, dulu setelah latihan kita ngobrol dan diskusi kalau pemain sekarang ya ke mall, itu tidak apa-apa karena jamannya sudah beda, tapi juga harus membuktikan diri, you dibayar ya harus profesional dong, ibarat kerja kalau dibayar harus komitmen, kalau dulu kita digaji seperti sekarang ya beda lagi”
“sekarang itu aneh pemain dipermainkan bola, seharusnya kita yang memainkan bola bukan sebaliknya, basic sepakbola saja ga punya passing, control dll”
Makasar menjadi tempat angker bagi Budi Johanis, Maura Helly, Yongky kastanya dan juga Muharrom Rusdiana, beliau menceritakan bagaimana teror penonton Makasar
“Mattoangin, itu stadion paling angker, bahkan latihan pun susah, karena penonton begitu berjubel melungker seperti obat nyamuk, kalu disenggol sedikit ‘apa kamu’ itu teriak mereka. Tapi anak-anak tidak ada yang nervous atau tertekan mereka nyantai aja”
“psy war penonton makasar memang beda, kata-kata bunuh, bunuh sudah wajar, tapi kami tidak terpengaruh justru semakin termotivasi untuk mengalahkan mereka. Ketika pertandingan away saya lebih memilih sekamar dengan Budi atau Yongky, karena sama sama beroperasi ditengah agar mudah komunikasinya.“
Beliau juga menuturkan kisah lucu ketika mengerjai Bang Muh (moh barmen), skuad Persebaya saat itu memang sering bercanda dan hal sederhana itu sukses membangun chemistry diantara pemain
“sesama pemain kami sering bercanda misalnya ketika ada yang baca koran pagi-pagi ada yang iseng membakar korannya dari bawah ‘oe jancok koen iku’, tapi tidak ada marah-marahan. di Hotel Hasta kami pernah mengerjai Bang Muh (barmen), kami menggantungkan kardus bekas diatas pintu begitu Bang Muh buka pintu yang diatas pun jatuh, anak-anak langsung semburat sambil tertawa, meskipun bercanda tapi kami tetap menghormati Bang Muh”
“Bang Muh orangnya pandai memotivasi, kalau ada pemain cedera beliau cuman bilang ‘iki ga opo-opo iki’ saya pun langsung main lagi”
sumber :

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More