Adri Ferdinandus, Bek Kanan Dari Plampitan

Jam menunjukkan 19:30 malam, ketika kami mendatangi rumah beliau di kawasan Kertajaya. Hari itu kami mendatangi salah satu pelaku sejarah ketika Persebaya berhasil menjadi juara perserikatan 1951 dan 1952 yang tersisa, Isack Adri Ferdinandus namanya.
Bayangan kami, beliau pasti sudah sangat lanjut dan akan menjadi kendala bagi untuk mengorek semua cerita di masa lalu. Namun, apa yang kami dapatkan malah diluar ekspektasi diawal. Beliau tampak bugar dengan ingatan tajam dan lebih muda 20 tahun dibanding usia sebenarnya.
Ketika kami sodorkan foto ini , beliau bercerita banyak.

Berdiri Ki-Ka: Saderan, Ferdinandus, Mat Surip, Kek Kwie, Sidik, Peng Hwa.

Duduk Ki-Ka: Hassan, Liem Tiong Hoo, Stalder, The San Liong, Taihitu.

“Foto ini, saat kami melawan Persija , tahun 1951 di Jakarta. Waktu itu saya berumur 21 tahun, bermain di Lapangan Ikada Jakarta”.
“Ini final pertama yang disyuting langsung PFN (Perusahaan Film Negara). Setelahnya hampir setiap final selalu diliput langsung oleh PFN.”
“Kita bermain tidak dengan kekuatan penuh, hanya 60%. Pemain lain seperti Bing Mo Heng, Chai, Eng, Sidhi tidak ikut ke Jakarta. Posisi Sidhi digantikan Matsurip, Kiper Bong Mo Heng di gantikan Ong Kek (Kwie).”
“Matsurip ini selalu jadi Second Man. Ong Kek (Kwie), ini kiper yang tidak pandai tapi selalu untung, ditembak berkali-kali bola tidak bisa masuk.”
“Waktu final, selama 80 menit kami diserang habis-habisan. Mereka menekan kami tidak berhenti. Akhirnya kami mendapat kesempatan 5 menit menjelang pertandingan berakhir, bola lambung dari saya mampu diselesaikan Liem Tiong Hoo dengan sedikit gocekan mengecoh dan kemudian menembak. Gol! 1-0 kami menang.”
“Kami tertawa semua, karena yang tadinya diserang habis-habisan malah menang. Sampai-sampai sewaktu pengumuman juara, pemain Persija tidak ada yang muncul.”
“Di final 1951 ini kami mendapatkan piala bergilir dari Presiden dan Wakil Presiden. Yang ambil pialanya waktu itu saya, ayah saya (Yohanes David Ferdinandus) dan Pak Moerdiat. Kami bertiga yang ke Jakarta.”
“Paling-paling dapat uang saku, dapat uang saku sudah senang. Sudah merasa bangga.”
“Kompetisi (Internal) Persebaya jalan baik, hampir tiap minggu main. Kami selalu dalam kondisi fit. Tadinya kami bermain untuk perkumpulan (bond), dari klub-klub diambil yang terbaik dan dipanggil Persebaya. Latihannya cuma seminggu sekali, karena kami sudah saling mengerti posisi dan cara bermain masing-masing jadi ya langsung nyetel. Dulu benar-benar yang terbaik, tanpa harus mengeluarkan uang jutaan untuk masuk kedalam tim.”
“Dulu kompetisi (Internal) dalam kota saja, yang menonton selalu penuh. Kalau sekarang, Persebaya main saja belum tentu penuh. Apalagi kalau kalah…”
“Dari klub-klub internal dipilih yang terbaik dan dilawankan dengan klub luar negeri. Saya pernah melawan Locomotive Moscow.”
“Waktu itu ada pemain namanya (Valentin) Bubukin, tendangannya terkenal keras sekali. Kejadiannya ketika mereka dapat tendangan bebas, jaraknya kira-kira 2 meter dari pagar betis kami. Saya di bek kanan. Bubukin yang mengeksekusi sendiri. Cuaca saat itu sedang hujan, jadi bola agak berat karena air hujan. Begitu bola ditembak, bola mengarah ke posisi Sidhi. Dengan sigap Sidhi menghalau dengan kop headen, bola berhasil dihalau tapi Sidi nglethak. Sidhi kemudian diangkat dan tidak main lagi.”
“Memang kami dulu amatir, tetapi soal kualitas kami tidak kalah dengan pemain kelas professional (liga indonesia) saat ini.”
Karir
“Rumah saya di Ahmad Jais didaerah Plampitan. Dibelakang rumah saya ada kali (sungai). Antara rumah saya dan sungai ada lapangan bola. Dari situ saya mulai bermain sepakbola, umur 10 tahun sudah bermain sepakbola.”
“Umur 13 tahun, saya bermain untuk perkumpulan sepakbola Cahaya Laut. Pengurusnya yaitu Mayjen Soengkono.”
“Tahun 1943 , sewaktu jaman jepang saya bermain untuk kompetisi kelas 2 (Cahaya Laut). Pembagian kelasnya ada 4: Kelas 1 (utama, dimana kesebelasan yang kuat-kuat bermain disana), Kelas 2, Kelas 3 dan Veteran.”
“Biasanya dimulai dari kelas 2 atau 3, kemudian naik kelas ke kelas yang lebih atas. Saya bermain di kelas 2 selama 2 tahun, dari jaman jepang sampai revolusi. Revolusi selesai, saya naik kelas 1.”
“10 Nopember 1945 saya ikut perang, angkat senjata. SMP saya di Praban, dan bergabung dengan TRIP/ Pemuda Maluku. Bertahan hampir 2 minggu di dalam kota, diserang dari udara dari laut oleh Inggris dengan bantuan Gurkha.”
“Tahun 1946/1947 saya bermain untuk klub Indonesia, Maluku Muda. Melawan klub tionghoa, klub lokal Belanda dan tentara (marinir belanda).”
Ketika kami menanyakan perihal bagaiamana berkompetisi dengan, nantinya rekan satu tim di Persebaya 1951, Liem Tiong Hoo beliau menjawab, “Liem Tiong Hoo itu cepet muternya, harus dilakukan spesial penjagaan. Saya tahu kelemahan-kelemahan Tiong Hoo, karena sering bertemu.”
“Maluku Muda berisikan pemain campuran jawa dan ambon. Kipernya Pak Sunaryo, Bek Kanan Sudarmaji, half back Suparmo.”

Peringkat Bintang Timur dalam kompetisi Persebaya
Sewaktu berkuliah di fakultas kedokteran Universitas Airlangga, beliau pernah tergabung dengan kesebelasan mahasiswa indonesia yang diundang bermain di Stalingrad, Uni Soviet.
“Sewaktu Indonesia mengikuti kualifikasi untuk Olympic Games Melbourne, PSSI dengan kiper Saelan mampu menahan Uni Soviet dengan kiper legendarisnya, Lev Yashin, dengan 0-0. Sehingga memaksa pertandingan playoff , dan dipertandingan kedua PSSI dibantai 4-0.”
“Karena penampilan yang memuka itu, Indonesia diundang untuk mengikuti Youth Games yang merupakan tandingan Olympic Games selama sebulan di Uni Soviet.”
“Kami berangkat bukan karena ideologinya (komunis), kami berangkat kesana karena main bola dan ndak bayar.”
“Kami kalah 4-1.”
Sebelum 1945 , NIVU (Nederlandsch Indische Voetbal Unie) mengadakan kompetisi sepakbola lokal untuk bond-bond indonesia. Sebuah kompetisi penuh juga diadakan oleh pribumi, tidak ada persaingan dengan kompetisi yang diadakan oleh pemerintah belanda. Berjalan sendiri-sendiri dan semua adalah amatir. Soerabaiasche Voetbal Bond (SVB) adalah kesebelasan yang meramaikan peta kompetisi pemerintah belanda NIVB, juara silih berganti antara Jakarta, Bandung dan Surabaya.
Dari data didapatkan bahwa Voetbalbond Batavia en Omstreken (VBO) juara sebanyak 12 kali, diikuti Soerabaiasche Voetbal Bond (SVB) sebanyak 11 dan Voetbal Bond Bandoeng Omstreken (VBBO) dengan juara 3 kali.
Kelak, SVB melebur menjadi Persebaya yang merupakan gabungan dari dua kesebelasan dari dua kompetisi (kompetisi NIVU dan kompetisi PSSI era awal).
Dari kompetisi lokal Persebaya didapat klub-klub anggota Persebaya yang hebat antara lain Cello, Maruto, Cahaya Laut.
Dari kompetisi bond-bond indonesia, nama Persis Solo dengan kiper Maladi menjadi paling kuat diantara lain. Beliau tidak memungkiri fakta tersebut,
“Mainnya bagus, kalau mau main ingin seperti mereka.”
“Peta sepakbola dahulu berada di tengah, antara Jogja dengan PSIM dan Solo dengan PERSIS.”
Antara tahun 1948-1949 adalah masa peralihan, masih dijumpai kesebelasan-kesebelasan belanda yang bermain melawan kesebelasan indonesia. Perlu diingat, saat itu suasana pasca agresi militer 2 Belanda.
“Kita bermain biasa, seperti kalau menghadapi klub-klub yang lain. dilapangan boleh keras tapi setelahnya bersalaman.”
“Perang dan sepakbola dipisahkan, semua berlindung diatas payung sportifitas.”

Beliau tengah mengamati foto
“Kelak saya menggantikan Peng Hwa, karena sudah tua.”
“Her Klouds itu marinir pangkatnya kapten, orang belanda. Klubnya karo sekarang ya PSAL.”
“Tan Peng Hwa itu polisi, klubnya Tiong hoa.”
“Hany Seeman itu petinju, kalau tidak salah orang militer dari klub HBS.”
“Keis Elmensdorp, ini arek Tambaksari asli. Klubnya Exelcior.”
“Pasqua, Klubnya RKS.”
Namun, keharmonisan itu harus berakhir ketika Bung Karno menyerukan “Go To Hell With Your Aid!”.
“Tanda itu dimulai dari perubahan nama-nama belanda menjadi nama indonesia. Seperti Menamoria menjadi Maluku Muda dan akhirnya menjadi Bintang Timur. Tiong Hoa menjadi Surya Naga.”
“Teman-teman belanda saya kembali ke negaranya. Termasuk dosen-dosen saya di FK Unair.”

Berdiri Ki-Ka: Keis Elmensdorp, Tiong Khiem, Her Klouds, Pasqua (kiper), Peng Hwa, Saderan.

Duduk Ki-Ka: Hyan Bien, Liem Tiong Hoo, Hany Seeman, The San Liong, Janus Manuputty.

Dunia Kedokteran
Tahun 1950, IA Ferdinandes masuk bangku perkuliahan di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
“Selama kuliah saya lebih banyak bermain sepakbola daripada kuliah. Juara 51 dan 52 pas saya kuliah. Sekolah bebas sak enak’e, baru sekitar 53/54 saya mulai fokus kuliah.”
“Kuliah memakai pengantar bahasa belanda, dosen-dosen orang belanda. Selama tahun 1950-60, FK memakai sistem belanda. Kalau ujian lisan, satu persatu dengan guru besar langsung.”
“Tidak heran dalam 1 tahun yang lulus cuma 10-15 orang. Liem (Tiong Hoo) itu pinter, termasuk yang cepat.”
Beliau lulus dari FK Unair di tahun 1962, dilanjutkan menjadi pengajar di FK Unair sampai pensiun tahun 1996. Meski sudah berkecimpung di dunia kedokteran, sepakbola masih menjadi bagian hidupnya.
“Tahun 1963 saya berangkat belajar ke Amerika Serikat. Disana saya ikut kesebelasan Irlandia di San Fransisco. Untuk olahraga saja, bukan prestasi lagi.”

Plakat nama-nama lulusan di Gedung Fakultas Kedokteran UNAIR
Tentang Sepakbola
Sampai saat kami temui, sikap kritis belum hilang dari Prof.dr.I.A. Ferdinandus, M.Div.D.Min.
Kami rangkumkan dibawah ini :
Carut marut sepakbola nasional akhir akhir ini membuat beliau prihatin.
“Sepakbola Indonesia telah mengalami kemunduran, di era saya dulu ketika status kami masih amatir namun Indonesia bisa dibilang termasuk dalam the best of five di asia”.
“PSSI waktu itu tidak kalah dari luar negeri , kita sejajar dengan (sepakbola) Cina , India. Korea , Jepang bukanlah lawan yang sepadan bagi timnas. mereka belum bermain di level itu, tapi sekarang justru kita yang dibawah mereka.”
Sistem kompetisi yang teratur di era beliau merupakan faktor utama majunya sepakbola.
“Dulu dengan segala keterbatasan kompetisi bisa berjalan teratur, jenjang pembinaan juga bagus, sehingga tidak sulit membentuk tim yang tangguh.”
Faktor infrastruktur juga merupakan faktor penting,
“Sekarang susah, gimana mau maju wong nyari lapangan buat latihan saja susah. Dulu ada banyak lapangan sepakbola. Surabaya punya banyak lapangan sepakbola standar, 25 lapangan jumlahnya. Tapi lihat sekarang, tambah lama tambah tidak ada. Di Tambaksari sendiri dulu ada 3 lapangan , dibelakang stadion dan diseberang kanan stadion.”
“Kalau sekarang justru lapangan-lapangan tersebut berubah jadi mall, sekolah dan bangunan lainnya”.
Jika mengacu pada catatan sejarah memang ada banyak lapangan sepakbola yang beralih fungsi antara lain lapangan SIVB yang berubah jadi Pasar Turi, lapangan HBS yang berubah jadi SMA 9 dan lapangan tempat latihan Tiong Hoa (sekarang suryanaga sempat berubah nama menjadi naga kuning) yang jadi THR.
Mengenai peran pemerintah terhadap sepakbola beliau memaparkan,
“Pemerintah dan olahraga jangan jadi satu, kacau!.”
“Pemerintah boleh membantu industri sepakbola tapi dalam bentuk fasilitas dan infrastruktur, bukannya anggaran (APBD).”
Isu APBD untuk klub sepakbola saat ini memang tengah ramai diperbincangkan, desakan untuk menghentikan aliran APBD untuk sepakbola semakin kuat seiring derasnya isu pengelolaan sepakbola secara profesional.
“Ok, boleh pakai APBD. Dengan APBD, pemerintah bikin fasilitas (lapangan sepakbola), buat infrastruktur yang bagus kemudian disewakan kepada klub/bond. Jadi klub/bond tidak ikut-ikut mengurusi APBD yang diberikan.”
“Fasilitas-fasilitas dikelola dan dipelihara dengan baik. Biaya sewa dari klub/bond digunakan untuk pemeliharaan.”
Sepakbola sekarang sangat berbeda dengan era beliau. Meski tidak di gaji para pemain di era beliau bermain dengan penuh kebanggaan saat memakai kostum dengan logo Persebaya di dada. Sikap itu didasari karena rasa cinta yang besar terhadap sepakbola. Di level pengurus pun demikian pengurus yang terjun ke sepakbola benar benar mencintai sepakbola bukannya memanfaatkan sepakbola untuk kepentingannya.
“Dulu saya tidak digaji, hanya uang saku saja.”
“Kalo sekarang semua hanya soal kepentingan dan uang, suap dimana-mana. Dulu suap memang sudah marak namun kami bertahan karena kami tidak ingin merusak sepakbola.”
“Kalau dulu pemain yang ketahuan menerima suap akan dihukum berat oleh pengurus, sekarang justru mulai pemain dan pengurus melakukan segala cara untuk menang.”
“Sepakbola bukan untuk sepakbola thok, apalagi untuk uang. Harusnya untuk bangsa dan Negara.”
“Saat ini, di indonesia. Sepakbola diperalat oleh kepentingan pribadi. Pemuda-pemuda yang bisa berkembang, harusnya bisa menang disuruh kalah. Mainnya jadi rusak. Jaman saya, mau dikasih uang kami tolak karena pasti menang. Karena kami bisa menang.”
Beliau juga melihat banyaknya pejabat publik yang bercokol disepakbola menjadikan klub sebagai kendaraan kepentingan pihak pihak tertentu.
“Kalau mau professional, yang terjun disana harus benar benar bersih dari kepentingan. kalau ada pejabat yang masuk dia harus datang sebagai individu yang mau maju dan mencintai sepakbola, bukannya datang dengan atribut instansi atau status politiknya.”
“Dengan dukungan fungsi mereka masih kacau. Apa yang harus dikelarkan, tidak dikelarkan. Apa yang tidak dilakukan, dilakukan. Dalam pengelolaan harus lepas soal kepangkatan, jadi pribadi olahraga yang berjiwa sportif yang kesemuanya untuk tujuan olahraga.”
Soal Nurdin dan PSSI, beliau bersemangat menjawab.
“Kasihan orang itu, justru ngrusak pembinaan. Harusnya mundur!. Jaman saya orang seperti harus mundur, saya bandingkan dengan dr. Soewandhi (ketua Persebaya) dulu. Sangat jauh!.”
“Seorang nasionalisme tulen. Soewandhi orang jujur. Kurang ini bayar sendiri tanpa pamrih.”
Beliau menawarkan solusi dari semua carut marut ini sebetulnya sederhana dan hanya satu kata yaitu sportifitas. Sifat sportif itulah yang saat ini sudah menjadi barang langka di negeri ini.
“Inti dari sepakbola itu sportifitas, kalau kita bisa benar-benar memahami dan melaksanakannya bukan hanya sepakbola, bahkan dalam kehidupan sehari-hari, berbangsa dan bernegara pun juga akan lebih baik.”
“Sportif itu berarti kalau kalah ya mau mengakui dan menerima kekalahannya, kalau menang ya menang dengan cara yang baik. Menghargai lawan, lawan kuat kita mengakui lawan kuat.”
“Pemupukan sportifitas harus datang dari pemimpin. Pemimpin kerja tidak dilapangan sama dengan kita, mereka memimpin kita dipimpin.”
“Pendidikan / pembinaan harus disiplin, jujur dan sportif. Kalah tidak masalah asal main yang bersih dan mengakui, untuk lain kali diusahakan menang.”
“Sepakbola bukan untuk dirimu tapi untuk bangsamu, nasionalismemu.”
“Olahraga terutama sepakbola sangat erat dengan kehidupan masyarakat biasa, jika sepakbola kacau struktur kemasyarakatan juga akan kacau. Sepakbola adalah cabang olahraga pendidikan yang baik untuk menjadi baik di masyarakat.”
“Olahraga adalah latihan untuk membina mental. Karena memupuk sportifitas, kejujuran dan integritas. Dan ini semuanya akan bermuara untuk Bangsa dan Negara.”

Energik!
Beliau merasa heran dengan pelatihan jangka panjang timnas yang masih saja gagal membawa prestasi .
“Kalau mau berprestasi ya kompetisinya yang dibetulkan, jaman saya dulu tidak ada yang namanya training camp(pelatnas) jangka panjang, paling tiga bulan sebelum kompetisi kami dikumpulkan untuk berlatih, toh juga masih bisa juara, semuanya karena kompetisi dan sistem pembinaannya yang bagus”.
Menanggapi kondisi sepakbola nasional saat ini, beliau menjelaskan
“Kuncinya sekarang di Agum Gumelar sebagai pihak yang ditunjuk FIFA untuk menyelesaikan masalah, Agum harus menampung semua masukan, berkoordinasi dengan pemerintah (kemenpora) dan yang paling penting harus berani tegas sesuai aturan”.
Sejak ditunjuk FIFA sebagai ketua komite normalisasi, Agum telah mengakomodir berbagai masukan termasuk status Arifin Panigoro dan George Toisutta yang ditolak FIFA.
Ketika kami bertanya tentang bakal calon ketua PSSI yang sempat menjadi kontroversi beliau menunjuk Arifin Panigoro sebagai sosok yang tepat.
“Saya tidak mengenal mereka secara pribadi, kalau disuruh memilih saya lebih condong ke Arifin Panigoro.”
“Sepakbola profesional itu butuh ongkos besar, selain capital juga dibutuhkan sistem manajemen yang bagus kalau soal itu (capital dan manajemen) Arifin lebih berpengalaman, tapi segala sesuatunya harus berjalan sesuai aturan yang ada.”
Pengelolaan sepakbola yang berorientasi uang dan kepentingan menurut sang legenda telah merusak sepakbola itu sendiri, menurut beliau itu semua terjadi karena tidak ada batasan yang jelas antara yang profesional dan amatir.
“Sekarang situasi semakin kacau karena tidak ada batasan yang jelas antara profesional dengan yang amatir.”
Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa meski berlabel professional namun sepakbola di Indonesia masih dijalankan dengan cara-cara amatir.
“Seharusnya memang keduanya (amatir dan profesional) tetap harus dijalankan dengan benar, kalau yang mau profesional silakan begitupun yang amatir, jangan sampai yang terjun ke profesional masih membawa sifat-sifat amatirnya.”

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More