”Tak banyak yang bisa dipetik dari ukuran itu.
Kecuali penampilan Joko Malis dan Johny Fahamsyah — 2 nama yang
memberikan harapan bagi masa depan persepakbolaan nasional. Joko Malis
maupun Johny Fahamsyah adalah tipe penyerang yang mengingatkan orang
pada gaya permainan Sutjipto alias Gareng. Mereka bergerak dengan arah
yang sukar ditebak. Gocekannya pun boleh.”
Begitulah artikel yang dimuat di
koran Tempo, 4 Februari 1978. Sebuah mukadimmah yang tepat bagi pembaca
yang belum mengenal siapakah sosok legenda Persebaya kali ini. Bagi
khalayak yang mengikuti perjalanan Persebaya di rentang waktu 1970-an,
sudah pasti tidak asing lagi. Kepada kami dengan antusias, sang legenda
lapangan tengah ini mulai bercerita.
“Sejak kecil saya sudah suka
sepakbola, dulu saat kakak saya dan teman-temannya main bola saya selalu
dipinggir lapangan melihat.”
“Saat SMP kelas 2 saya disuruh
latihan untuk persiapan POPSI (semacam pekan olahraga siswa). Kebetulan
yang ikut anak-anak kelas 3 semua, saya paling muda. Saya juga nyeker dan belum pakai sepatu.”
“Pelatih saya bilang, nanti sore
datang latihan di lapangan Bogowonto, kita mau ikut POPSI. Kemudian saya
membeli sepatu, anehnya setelah memakai sepatu justru saya tidak bisa
menendang, tapi saya tetap dipasang. Pas main kami malah kalah dengan skor besar, 5-0.”
“Kakak saya dulu main di THOR bersama
temannya, Dollem. Dia punya pengaruh besar terhadap karir saya, dari
dia lah saya suka sepakbola.”
Selanjutnya, Johny muda bergabung dengan
salah satu klub anggota Persebaya yaitu Indonesia Muda (IM). Di klub
tersebut, bakat besarnya semakin terasah dan kesempatan masuk ke
Persebaya Junior pun datang.
Gelar pertama untuk Persebaya
“Tahun 1976, usia 18 atau 19, saya
dipanggil seleksi untuk Persebaya B persiapan piala Soeratin. Dari
seleksi tersebut tersaring 23 pemain, setelah itu baru dilihat umur
pemain yang lolos seleksi. Umur saya kelebihan setahun, yang dicari
adalah kelahiran 1957 sedangkan saya kelahiran 1956.”
“Kemudian saya diajak Abu Ramli ke
kantor kelurahan, disitu usia dan data-data saya ‘dipermak’. Tahun
kelahiran diganti menjadi tahun 1958 agar bisa ikut piala Soeratin.”
Bermain di turnamen resmi pertamanya,
sejak gabung dengan Persebaya. Johny Fahamsyah mampu berbuat banyak
untuk klub kebanggaan arek-arek Suroboyo tersebut.
“Persebaya lolos 4 besar. Grupnya
Persebaya antara lain PSP Padang, PSM Makassar, bermain di Malang.
Sementara di grup lainnya seperti PSIS, Persija, pertandingannya digelar
di Pasuruan. Saat itu Persija diatas angin, namun Persija ingin
‘memilih’ lawan agar menghindari Persebaya. Persija kalah dari Semarang,
sementara Persebaya yang harus menang jika ingin juara grup justru
bermain imbang dengan PSM Makassar.
Setelah bermain di Malang, Persebaya lolos sebagai runner-up di bawah PSP Padang, fase knock out selanjutnya di gelar di Surabaya.
“Babak semifinal dan final digelar di
Surabaya. Persija bertemu PSP Padang sementara Persebaya bertemu PSIS.
Saat itu Persebaya vs Persija disebut-sebut sebagai final ideal.”
“Di semifinal, Persebaya bertemu PSIS
main hari jumat jam 3 sore tetapi jam 1 setelah sholat jum’at penonton
sudah penuh. Saya dan teman-teman satu tim yang tadinya mau menonton
partai pertama semifinal sempat heran, waduh wes penuh rek yo opo iki ?.
Karena penuh, kami pun tidur sambil menunggu kickoff jam 3 sore.”
“Melawan PSIS kami leading 2-0
kemudian dikejar jadi 2-1, selanjutnya unggul lagi 3-2 kemudian kami
lolos ke final dengan skor akhir 4-2. Di final kami menunggu pemenang
antara Persija dan PSP Padang. Dan.saya berharap Persija yang lolos ke
final.”
“Tahu kita lolos final, Persija
semakin bersemangat apalagi pemain mereka top-top semua. Salah satunya
Wahyu Tanoto. Ditambah yang dihadapi ‘hanya’ PSP Padang. Skuad Persebaya
B juga menyaksikan laga tersebut. Tak disangka PSP Padang bermain
ngotot, hingga setengah permainan skor masih 0-0. Di penghujung laga,
PSP Padang mendapat corner kick bola di heading dan gol. Pemain-pemain Persija hanya bisa lemas. Kami sempat berkelakar, ‘hahahaha sukur kapok koen’.”
Persebaya B lolos ke final Piala
Soeratin, laga yang digelar di Stadion Tambaksari tersebut menjadi laga
final pertama bagi Johny Fahamsyah dengan logo Persebaya di dada.
“Di final, kami pikir penonton akan
sepi karena lawannya hanya PSP Padang. Ternyata kami salah, penonton
justru penuh karena saat itu warga Padang di Surabaya ikut membantu.
Penonton dari Padang termasuk mahasiswa Padang yang kuliah di Surabaya,
bahkan pada hari itu semua restoran Padang menggratiskan makanan bagi
warga Padang. Saat itu nyonya (istri) juga menonton pertandingan
tersebut.”
“Sebelum laga lawan PSIS, di mess
pemain (Wisma Eri Irianto di Karang Gayam) di parkir sepeda motor yang
dijanjikan jika kami juara, alhasil kami pun bermain kesetanan.”
“Saat itu kami dilatih oleh (Alm)
Misbach, Di final kami kalahkan PSP Padang 1-0. Motor di reyen
keliling-keliling, padahal waktu itu motor belum dibayar hanya sebatas
dipamerkan saja. Sebulan kemudian baru saya mendapat STNK.”
Pada Piala Suratin 1976, PSP Padang merupakan tim yang difavoritkan untuk menjadi juara. Semua lawan, termasuk Persebaya Surabaya yang kelak menjadi juara, dilibas. Di babak semifinal yang digelar di Stadion Gelora 10 November, Surabaya (25 Oktober 1976), PSP pun mengalahkan Persija Jakarta Pusat 1-0 melalui gol tunggal Ikrardinata pada menit 72. Namun, di partai akhir (final) di tempat yang sama (29 Oktober 1976), PSP harus mengakui keunggulan tuan rumah Persebaya 0-1.Hegemoni Persija di piala Suratin memang luar biasa, sudah kuat mengakar. 7 tahun lamanya, dari 1967 sampai 1974 sebelum digeser oleh Persebaya.
Piala Suratin 19761967 Persija Jakarta1970 Persija Jakarta1972 Persija Jakarta1974 Persija Jakarta1976 Persebaya Surabaya
Persebaya Senior
Setelah berjuang keras bersama IM dan
Persebaya Junior, kesempatan untuk bermain di level senior akhirnya
datang. Johny Fahamsyah melakoni debut pertamanya dengan Persebaya
senior di turnamen Surya Cup. Turnamen sebagai bagian persiapan tim
sebelum berlaga di kompetisi Perserikatan di Level Nasional.
“Setelah juara Soeratin Cup saya naik
ke Persebaya senior, saya ditarik ke senior untuk membantu
pemain-pemain senior yang sudah berumur seperti Abdul Kadir dan Waskito.
Ditengah ada saya, Keltjes dan Waskito. Karena saya termasuk paling
muda, saya yang disuruh naik turun mengcover pemain senior yang sudah senja.”
“Saat itu persiapan untuk Surya Cup,
kami dilatih oleh Om Januar Pribadi (Phoa Sian Liong, pemain Persebaya
tahun 60-an satu angkatan dengan Andjiek Ali Nurudin).‘kamu ikut latihan
sini’. Waktu itu nama Anjas Asmara (pemain Persija) sangat terkenal,
dia sempat bilang dikoran ‘dimana ada bola disitu ada saya’. Sayang, dia
tidak ikut main di Surya Cup padahal saya sudah ngebet melawan dia.”
Bermain di level senior, Johny Fahamsyah
sempat merasa kurang percaya diri. Hal tersebut bisa dimaklumi karena
pemain senior yang bermain bersamanya adalah pemain-pemain dengan nama
besar di level nasional.
“Waktu itu saya juga takut dengan
pemain senior, disuruh gini saya turuti. instruksi mereka, ‘pokoke dapet
bola langsung umpan, jangan lama-lama bawa bola’, ya saya turuti saja.”
“Pelatih bilang ke saya, ‘kamu pemain
muda tenaganya lebih, kamu harus punya kelebihan kalau pemain lain
punya satu kamu harus punya tiga’. Hampir setiap pagi saya lari-lari,
menambah porsi latihan sendiri.”
“Manager IM saat latihan juga sering
memantau saya, sebelum pertandingan saya dipanggil dikantor dan dikasih
wejangan,‘kamu kemarin harusnya bisa cetak 2 gol, kenapa kamu ini? saya
belum pede jawab saya.”
“‘Kamu harus pede, kalau ada
kesempatan tendang saja. sepuluh kali tendang kamu bisa gol satu itu
sudah bagus’,. Sejak saat itu saya mulai pede, begitu ada kesempatan
saya sikat, saya juga mulai berani bawa bola melewati pemain. Setelah
itu beliau ngasih saya amplop,‘ini buat kamu biar semangat’ biasanya
isinya 75 ribu, saat itu vespa seharga 300 ribu-an.”
Jongkok dari kiri ke kanan : Waskito, Hadi Ismanto, Joko Malis, Johny
Fahamsyah, Abdul Kadir. Berdiri dari kiri ke kanan : Soeyanto,
Suharyoso, Rudy W. Kelces, I Wayan Diana, Hamid Asnan.
Terima kasih sebesar-besarnya kepada Keluarga Besar Johny Fahamsyah.
“Saat Surya Cup di Surabaya kami
melawan Persema, sebelumnya ada pemain Persebaya (Hartono dan Budi
Susanto) yang pindah ke Persema dan sebaliknya ada pemain Persema yang
ke Persebaya (Suharyoso), di kedua tim juga ada pemain bersaudara.
Kebetulan adiknya Suharyoso main untuk Persema, saking panasnya tensi
pertandingan sampai akhirnya terjadi perkelahian. Saat adiknya Suharyoso
mau menyerang pemain Persebaya, kakaknya memukul adiknya sendiri
dilapangan.”
“Anak-anak sempat bingung dan
berkata,‘koen gendeng adikmu dewe mbok sikat. Timbang disikat arek-arek
mending aku sing nyikat’, Soeroso bermaksud melindungi adiknya agar
tidak jadi bulan-bulanan pemain Persebaya dalam perkelahian tersebut.”
Tak lama setelah bermain bersama pemain
senior,Johny Fahamsyah berhasil membawa Persebaya ke final Surya Cup
sekaligus juara, inilah gelar pertamanya bersama skuad Persebaya Senior.
“Setelah mengalahkan Persema kami
menghadapi Persija, saya sudah menunggu Anjas. Sayang dia tidak main,
yang main hanya Andi Lala. Surya Cup, turnamen pemanasan sebelum
kompetisi perserikatan 1978, kami menangkan di Surabaya.”
“Di final Persebaya dan Persija
menjadi juara bersama, karena setelah perpanjangan waktu skor masih
imbang. Kalau dilanjutkan sampai malam tidak mungkin, karena waktu itu
tidak ada lampu. Kedua kapten dipanggil, akhirnya diputuskan Persebaya
dan Persija jadi juara bersama. Waktu itu penonton meluber sampai sentel
ban tapi tidak ada keributan baik didalam maupun diluar stadion.”
Skema Persebaya 1975/1977
Juara Perserikatan 1978
Tahun 1978 merupakan puncak karier beliau ketika memperkuat Persebaya, juara nasional kepada kami beliau bercerita banyak
“Tahun 78 kami punya skuad tangguh
kiper Suharsoyo, Wayan Diana dan Riono stoper, bek kiri Hamid Asnan, bek
kanan Rusdy Bahalwan, tengah saya, Subodro dan Keltjes depan Hadi
Ismanto, Waskito dan Kadir.”
“Kadir pemain berpengalaman, larinya
kencang, dribble bagus, umpannya juga akurat dia dijuluki kancil.Kalau
Waskito tendangan keras seperti pelor kanan kirinya hidup julukannya
nyamuk. Pernah saat PON sekitar tahun 67, Waskito ambil tendangan bebas.
Kena pemain lawan, langsung nggeletak. Setelahnya setiap Waskito
mengambil tendangan, pagar betis lawan selalu menutup kepala dan
selangkangan. Dan penonton banyak berteriak, ‘cekeli ndasmu ben ga
nggeliyeng.’”
“Sedangkan Rusdy mainnya taktis dan
tidak kompromi, dia bek yang ditakuti lawan. Keltjes mainnya halus,
skill bagus tapi kalau ketemu pemain dengan tipikal keras seperti Rae
Bawa susah dia. Wayan Diana dan Riono Asnan posisi stopper, bek dulu
ditakuti, punya karakter kalau sekarang khan tidak bek terakhir yang
saya lihat punya karakter ya Bejo. Setelah itu belum ada.”
“Dulu pemain memiliki skill dasar
mumpuni, sekarang khan tidak. Kontrol sulit, passing sering salah. Kalau
kalah menyalahkan lapangan, kalau dasarnya skill sudah jelek jangan
menyalahkan lapangan.”
“Pelatih Persija (Marek asal Polandia) memanggil saya dengan sebutan nona, karena saya tidak pernah bermain kasar.”
“Kompetisi 78 pool Persebaya main di Jakarta, kami melawan Persipal 2-2, lawan Persiraja kalah 2-1, Persisam 7-0.”
“Saat final, skuad Persija dan
Persebaya keluar bersama menuju lapangan. Tetapi Anjas keluar dengan
menggandeng ceweknya, saat semua sudah dilapangan. Anjas menyusul karena
mengantar ceweknya dulu ke tribun, bahkan acara seremonial sempat
tertunda karena menunggu Anjas.”
“Melihat Anjas seperti itu saya dan pemain lain sempat dongkol,dalam hati saya ‘jancuk kakean gaya, awas koen yo’.”
Saat final tersebut keinginan untuk
berduel langsung dengan pemain top, Anjas Asmara, yang telah tertunda
sejak Surya Cup di Surabaya akhirnya terpenuhi. bahkan, Pelatih
Persebaya kala itu ,M Basri, memberi tugas khusus untuk Johny Fahamsyah.
“Pelatih M Basri memberi instruksi,‘John dimana ada Anjas disitu harus ada kamu. Anjas berak pun kamu tungguin’.
“Saat pertandingan saya menempel
ketat Anjas, dia saya matikan. Kemanapun Anjas pergi saya kejar. Pernah
satu momen saat itu bola ada di Persebaya, Anjas saya tinggal. Begitu
bola dicuri Persija dan diberikan ke Anjas, Anjas meliuk-liuk mendrible
bola. Anjas tidak terkejar karena saya sudah jauh. Kemudian Anjas
bergerak menendang bola, untung tidak gol.”
“Saat jeda pelatih marah-marah,‘John kamu gimana? Anjas koq lepas?. Coba tadi gol, bahaya kita’.”
Saya membela diri,‘Om tadi (sebelum
pertandingan)Om bilang kalau bola dipegang Persebaya Anjas tinggal, tapi
kalau bola dibawa Persija Anjas tempel. Tadi bola di potong Persija
jadi saya tidak nutut ngejar Anjas’. Tetapi pelatih tidak mau
tahu,‘Kalau bola kena Persija kamu harus tempel lagi’.’Iya om, iya om’,
saya cuman bisa bilang begitu.”
Disemprot pelatih saat jeda babak
pertama membuat Johny semakin bersemangat menjaga Anjas Asmara dan babak
kedua menjadi pertarungan terakhirnya.
“Babak kedua dimulai, Anjas saya
tempel ketat. Dia tidak dapat bola sama sekali, bola diumpan ke dia
selalu saya potong. 10 menit kemudian dia ditarik diganti Sofyan Hadi,
saya sangat lega tugas jadi lebih ringan.”
“Kemudian Joko (Malis) masuk
mengganti (Abdul) Kadir, kami memperkuat lini tengah. Joko punya body
bagus jadi dia unggul dalam perebutan bola, pada satu kesempatan Joko
melepaskan tendangan setengah salto dan gol.”
“Bangga sekali setelah juara, apalagi
mengalahkan Persija di rumahnya sendiri. Dulu hanya Persija dan PSMS
yang kami takuti, yang lain tidak. Saat melawan tim lain sehari
sebelumnya kami masih berani begadang tapi kalau lawannya Persija atau
Medan, jam delapan kami sudah tidur. Itu inisiatif sendiri, bukan
disuruh pelatih. Lawan kuat ya Jakarta dan Medan, kalau sekarang lawan
Lamongan dan Solo saja susah.”
“Saat juara tahun 78 kami punya
kebiasaan diskusi, nyangkruk dan ngumpul-ngumpul setelah latihan. Bahan
obrolan ya sepakbola, misalnya kalau bola begini pemain lain harus
begini dll. Semuanya lebih mudah karena kami punya skill dasar dan bakat
kalau sekarang khan tidak, skill dasar aja tidak ada, misalnya sering
salah passing, susah kontrol bola.”
“Kalau dulu main bola itu yang
dipakai akal dan okol, kalau sekarang main hanya okol saja. Terakhir
main pakai akal, okol dan bakat, ya eranya Budi Johanis saja.”
Menjadi juara 1975-1977. Jongkok dari kiri ke kanan
: Waskito, Rusdy Bahalwan, Judi, Hadi Ismanto, Abdul Kadir. Berdiri
dari kiri ke kanan : Joko Malis, Johny Fahamsyah, Suharyoso, Soeyanto,
J.W. Didik, Rudy W. Kelces.
Mewakili Indonesia di Merdeka Cup 1977
Setelah juara nasional, sejumlah pemain Persebaya dipanggil timnas untuk mewakili di piala merdeka cup 1977.
“90% skuad ini adalah pemain
Persebaya.Suharsoyo, Hamid Asnan, Rusdy Bahalwan, Riono Asnan, Soebodro,
Abdul Kadir, Hadi Ismanto, Joppy Saununu, Budi Santoso, Didik Nurhadi,
dan saya.”
Skuad Indonesia di Merdeka Cup 1977
Karir di Kompetisi Galatama
Dua tahun setelah juara, tepatnya tahun 1980, Johny Fahamsyah bergabung dengan kompetisi Galatama bersama Indonesia Muda (IM).
“Setelah 78 juara, tahun 80 saya
gabung ke IM di Galatama. Pemain-pemainnya seperti Roni Paslah, Judo
Harijanto, Junaidi Abdillah, Hadi Ismanto dll. Pak bos sampai datang ke
rumah menemui orangtua meminta saya bermain di IM dengan janji bekerja
di Pertamina. Dan orang tua saya sangat mendukung, sebelumnya saya dan
Hadi (Ismanto) kerja di PLN.”
Selain tawaran dari IM Johny juga
mendapat tawaran dari Niac Mitra. Saat itu banyak pemain Niac Mitra
adalah mantan pemain Persebaya seperti Wayan Diana, Rudy W Kelces, Joko
Malis.
“Wenas selalu menunggu saya jika
latihan, selain itu dia juga menemui orangtua karena dia ingin saya
gabung Niac Mitra. Kalau Wenas nunggu, saya keluar lewat pintu belakang.
Wenas menawari saya gaji Rp. 150.000,- (kalau sekarang sekitar 15 juta
perbulan) dan kontrak 2 juta per musim.”
Indonesia Muda, berdiri 4 dari kiri. sebelah kanan disamping kiper adalah Joko Malis, Budi Johannis
“Dua tahun saya memperkuat IM, sampai
Tunas Inti yang dilatih Anjas Asmara mendatangi saya. Setiap pagi
sampai jam 12 dia nongkrong menunggu saya, bos Tempo Scan Pacific
(Perusahaan Farmasi pemilik Tunas Inti) memanggil saya menawari saya
bergabung dengan Tunas Inti. Saat itu, disana ada Rully Nere, Rony
Patinasarani, Joko Malis dll. Hadi Ismanto juga mendapat tawaran dari
Tunas Inti tapi dia menolak karena tidak enak dengan Pertamina.”
“Saya sempat bimbang, kemudian cerita
dengan bos saya di Pertamina.‘Bos saya ditawari Tunas Inti dapat rumah
tipe 45 di Pondok Indah bos’. Bos saya merespon,‘Ambil aja John saya 10
tahun kerja di Pertamina belum dapat rumah, ambil aja John’.”
“Saya menemui pak Beny,bos PT Tempo,
dan siap gabung dengan Tunas Inti. ‘Berapa kamu digaji di Pertamina?’.
150.000 pak. ‘Ya sudah kamu saya gaji 300.000, kamu mau kerja boleh mau
kuliah juga boleh terserah pokoke’.”
“Orang tua saya mencak-mencak ketika
tahu saya keluar dari Pertamina, di Pertamina saya digaji 150.000, di IM
45.000 kalau seri bonus 5000 kalau menang 10.000. Sedangkan di Tunas
Inti, saya digaji 300.000 plus rumah kalau menang bonus 100.000. Saya
hanya menenangkan orangtua,‘Tenang ae pak pokoke beres’.”
“Pemain-pemain asal Jakarta menolak
rumah karena sudah punya rumah, jadi minta mentah-an saja. Saya sempat
bingung,‘kamu kalau rumah satu bulan lagi jadi rumahnya gimana?’. Saya
bertanya mentahan-nya berapa?’. ’10,6 juta’. Akhirnya saya minta
mentah-an dan beli mobil seperti teman-teman yang lain.”
Di Tunas Inti beliau benar-benar merasakan iklim profesionalisme di sepakbola.
“Bosnya Tempo orangnya gila bola,
bahkan ketika di Amerika. Dia tidak mau ketinggalan berita, kalau Tunas
Inti main dia akan telpon ke Indonesia dan minta telponnya didekatkan
radio. Dia telpon dengerin radio selama pertandingan.”
“Waktu di Tunas Inti, pak bos bilang
bahwa cedera apapun akan ditanggung kantor. Suatu saat ada pemain cedera
parah, sama pak bos besoknya langsung dibawa ke Amerika. Sampai di
Amerika dokternya hanya geleng kepala lihat cara dokter Indonesia
menangani pasien. Disana dia melakoni terapi jalan di pantai. Enam bulan
di Amerika dia kembali ke Indonesia, setelah cedera itu dia yang selalu
bermain keras waktu main maupun latihan akhirnya tidak berani bermain
keras lagi.”
Meski disibukkan dengan aktifitas
sepakbola, beliau tidak melupakan pendidikan, saat bermain di Tunas Inti
beliau juga terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Kristen Indonesia
(UKI).
“Selama di Tunas Inti saya tidak
kerja di Tempo tetapi memilih kuliah di UKI waktu itu masih di Salemba,
kalau sekarang pindah ke Cawang. Saat itu ada turnamen antar mahasiswa
pemenangnya mewakili Indonesia di Bangkok.”
“Saat itu skuad UKI banyak pemain
nasional seperti Rully Nere, di final tahun pertama UKI juara dan di
kirim ke Bangkok dan juara. Pelatihnya waktu itu pak Mangindaan, di
tahun berikutnya UKI kembali masuk final dan bertemu UPN Surabaya di
final saat itu saya berhadapan dengan Yongky Kastanya yang memperkuat
UPN, kami kalah dan Yongky yang berangkat ke Bangkok.”
Pekan Olahraga Mahasiswa ASEAN I
“2 tahun setelah memperkuat Tunas
Inti saya kembali ke IM selama 1 tahun. Awalnya mau masuk Niac Mitra
tapi kemudian memilih IM meskipun konsekuensinya tidak bisa kerja di
Pertamina, kemudian ditawari kerja di tanker tapi saya milih sepakbola.
Setahun kemudian IM bubar selanjutnya masuk ke Dolog, lima tahun
kemudian saya keluar dari Dolog setelah berkali-kali tes masuk selalu
gagal. Selepas Dolog, saya ke Bank Jatim sampai gantung sepatu.”
“Saat di Bank Jatim saya sempat
melatih Bank Jatim untuk turnamen antar bank di Surabaya. Saya mengajak
Bejo, Uston, Anang Ma’ruf yang saat itu kena skors saat memperkuat PSPS
Pekanbaru. Bank Jatim jadi superior, kami menang 11-0, 8-0.”
“Di final kami bertemu Bank Jateng
yang diperkuat pemain-pemain liga seperti Seto Nurdiyantoro dll,
setangah permainan skor masih 0-0. Untungnya menjelang pertandingan
berakhir tim unggul 2 gol. Lega rasanya karena saya berhasil.”
Galatama 1979-1980 => Divisi Utama(17 Maret 1979 s.d. 6 Mei 1980)Warna Agung (Jakarta) 25 17 4 4 38 => juaraJayakarta (Jakarta) 25 14 9 2 37Indonesia Muda (Jakarta) 25 15 6 4 36NIAC Mitra (Surabaya) 25 13 8 4 34Pardedetex (Medan) 25 10 8 7 28Jaka Utama (Tanjungkarang) 25 10 5 10 25Perkesa ’78 (Bogor) 25 10 4 11 24Arseto (Jakarta) 25 7 10 8 24Tunas Inti (Jakarta) 25 7 7 11 21Sari Bumi Raya (Bandung) 25 7 7 11 21Cahaya Kita (Jakarta) 25 8 5 12 21Tidar Sakti (Magelang) 25 4 5 11 13Buana Putra (Jakarta) 25 3 6 16 12BBSA Tama (Jakarta) 13 2 0 11 4Pertandingan pamungkas liga (Galatama I/1979-1980) itu terakhir pada tanggal 6 Mei 1980 di Senayan: Warna Agung (Jakarta) vs Indonesia Muda (Jakarta) yang berakhir imbang 1-1 dengan pencetak gol Hadi Ismanto (Indonesia Muda) pada menit 14 dan Taufik Saleh (Warna Agung) pada menit 82.
Ulasan koran Kompas
Selain di Niac Mitra yang saat itu lagi ngetop-ngetopnya.pemain asal Surabaya ada di IM: Hadi Ismanto, Johny Fahamsyah, dan Joko Irianto (PSSI Binatama seangkatan Budi Juhanis), UMS 80: Hartono, Pelita Jaya: Bonggo Pribadi. Di Tunas Inti ada Riono Asnan, di Warna Agung ada Budi Riva dan Risdianto. Bahkan Joko Malis dan Rudy Kelces yang sudah dua kali memberi gelar untuk Niac Mitra pun bermain di Yanita Utama. Di Arseto ada Abdul Kadir dan Lulut Kistono. Di Jaka Utama Lampung pun ada penjaga gawang M Asyik, Subangkit, dan Maura Hally.
Menjadi juara ketiga kompetisi Galatama. Berdiri
dari kiri ke kanan : Johannes Auri, Eddy Sabenan, Yudo Hadiyanto, Nus
Lengkonan, Makmun, Wahyu Hidayat. Jongkok dari kiri ke kanan : Hadi
Ismanto, Junaidy Abdillah, Hasan Tuharea, Johny Fahamsyah, Dede
Sulaiman.
Karir di Timnas
Tak hanya bermain di level klub, permainan ciamiknya membuat di panggil untuk memperkuat timnas.
“Selepas dari Soeratin Cup ada 7
pemain dalam skuad Persebaya dipanggil timnas antara lain saya, Joko
Malis, Riono Asnan, Ahmad Kautsar, Hamid Maghrobi, Biyanto kemudian
kipernya Dodit. Dari 7 disaring tinggal 5 Hamid dan Dodik gugur, kami
dipersiapkan untuk turnamen di Iran, sayang akhirnya batal.”
PSSI Yunior
“Selanjutnya diadakan pelatnas jangka
panjang di Jakarta, tapi setiap ada panggilan Persebaya kami saya
pulang ke Surabaya setelah itu kembali ke Jakarta lagi, sampai di tahun
78.”
“Tahun 79 saya ikut TC jangka panjang
timnas di Ragunan. Saat itu PSSI membuat 2 tim hijau dan merah (banteng
dan harimau), saya ikut tim yang hijau bersama Hadi Ismanto dll. Kami
dipersiapkan untuk turnamen diluar seperti Merdeka Games Malaysia, Kings
Cup di Korea dan Jepang Cup sayangnya waktu itu kita gagal juara.”
PSSI B melawan ITALIA junior
“Saat Jepang Cup kami bertemu
Tottenham Hotspurs dan Fiorentina, kita satu grup dengan Spurs pemainnya
Ardilles dan Villa kalau Fiorentina Antognini. Begitu lawan kita mereka
tidak memasang pemain inti karena takut dengan Rae Bawa yang tipikal
mainnya keras.”
“Jepang Cup kedua kita bertemu
Argentina dengan Maradonanya kita dihajar 7-0 yang main Bambang
Nurdiansyah, Subangkit, Budi Johannis, Endang Tirtana dan anak-anak lain
yang baru pelatnas di Brazil.”
PSSI B.
Johny Fahamsyah dan Sepakbola
Kepada tim bajulijo.net, Johny Fahamsyah memaparkan pandangannya terhadap sepakbola, suporter dan sisi lain dari sepakbola.
“Pemain idola saya Junaidi Abdillah,
gaya mainnya banyak yang menginspirasi saya mainnya juga halus. Selain
Jun, saya juga suka Andjiek Alinurudin dan Jacob Sihasale. Jacob striker
komplet, shoting maupun headingnya bagus. Kalau Bambang (Pamungkas) ya
lewat. Jacob hidungnya bengkok, dia pernah cerita pada saya. Saat lawan
Korea bola umpan di dekat tiang gawang, Jacob memaksa melakukan heading
dan gol, hidungnya membentur tiang dan bengkok.”
“Kalau kamu main bola,jangan biarkan
pemain pengganti main.Begitu pengganti main dan dia main bagus, lewat
kamu’. Itu yang selalu saya ingat dan terulang pada Salim Bahmid yang
menjadi cadangan abadi saya. Bahkan dia pernah cerita ke saya, ‘aku
kasih kesempatan po’o. saya jawab ‘iyo tenang ae’, meski dalam hati
‘entenono ae ga bakalan tak kasih kesempatan’.”
“Dulu saat Persebaya kalah atau
menang tidak ada yang namanya kerusuhan, penonton tertib tetapi sekarang
justru sebaliknya. Bahkan mobil saya pernah digebrak-gebrak (sama
Bonek) waktu saya lewat didaerah Tunjungan. Sejak saat itu saya
menggantung atribut Persebaya agar tidak di gebrak-gebrak mobil saya.
Harusnya bonek tahu diri, kalau kalah atau main jelek yo jangan rusuh,
Ojo njaluk menang tok ae.
saat menjadi pelatih
Bakat besarnya sebagai pemain menurun ke anak laki-lakinya, sayang sepakbola bukan pilihan anak laki-lakinya.
“Pelatih saya pernah bilang di Eropa,
orangtua mengantar anaknya waktu kecil olahraga berharap jadi atlit.
Kalau gagal dicoba ke musik, kalau gagal di musik ya disuruh fokus ke
pendidikan. Kalau di Indonesia, khan tidak orang tuanya tidak mendukung
kalau anaknya sepakbola dimarahi dan disuruh les saja.”
“Waktu anak saya kelas 5 SD, saya
latih sendiri setelah saya lihat dia punya bakat di sepakbola. Setelah
itu saya masukkan SSB di Dolog, pelatihnya di Dolog semua kaget karena
ada pemain bagus. Waktu latihan di Dolog, apa yang saya ajarkan
diajarkan lagi di Dolog jadi dia terlihat menonjol. Pelatihnya Nicki
Putiray, setelah tahu bahwa anak saya, dia bilang, ‘mesti ae wong bapake
pemain Persebaya, iki anakmu yo?’. Saya jawab ‘duduk nik, sambil ketawa
bareng’.”
“Tapi dia lebih memilih musik. Saya
bertanya,’kamu milih mana? band atau bola?’.‘dua-duanya, pak’.‘tidak,
harus salah satu, kalau bola ya bola kalau musik ya musik, kalau
misalnya besok pagi harus main bola padahal malamnya main musik
bagaimana? Harus milih salah satu agar fokus’. saya tidak memaksanya itu
soal hati, meskipun banyak pelatih yang menanyakan dia agar latihan
lagi, semua harus dari hati saya tidak memaksanya.”
Terima kasih sebesar-besarnya kepada Keluarga Besar Johny Fahamsyah.
0 comments:
Post a Comment