Yongky Kastanya, Loyalitas Sang Gelandang

13 tahun lamanya bermain untuk Persebaya, tanpa cedera sampai akhir karir. Di posisi yang sangat sentral, gelandang. Bersama kuartet tengah (Aris Sainyakit – Helly Maura – Budi Johannis), 3 kali final Perserikatan dan 1 gelar perserikatan 1987/1988 berhasil diraih.
Awal karir
Saat menjuarai Kompetisi Perserikatan 87/88 orang lebih mengenal Syamsul Arifin atau Mustaqim, sebetulnya peran sentral lini tengah tim kala itu ada di pundak Nyong Ambon satu ini, pemain yang bertugas merusak irama permainan lawan sekaligus membantu membangun serangan. Ditemui di kediamannya di salah satu sudut kota Surabaya, pria yang lahir di Ambon, 7 Februari 1961 mengenang kembali Persebaya di era-nya,
“Sejak kecil saya sudah main bola. Waktu SD begitu pulang sekolah, lempar buku dan langsung main sepakbola. Mulai main cekeran (tanpa alas kaki) di kampung sampai pakai sepatu.”
“Depan rumah saya ada stadion, jadi setiap hari saya bermain sepakbola. Di sana (Ambon) banyak pemain dengan bakat alam karena banyak lapangan, jadi bangun tidur lihat lapangan. Skill mereka bisa tumbuh dengan sendirinya, baru di klub diajarkan posisi ini begini ini begitu. Kalau sekarang khan tidak, meski banyak SSB tapi lapangan tidak banyak.”
“Orangtua saya tidak melarang saya bermain sepakbola. Pernah pulang sekolah, lempar buku langsung lari main bola. Pulang, memang ada dipukul.”
Beliau mengenang sebuah momen yang nyaris menghentikan karir sepakbolanya ketika masih kecil,
“Saat SD jempol kaki saya hampir putus, dekat lapangan ada sungai, begitu bola out saya lompat karena ingin cepat-cepat untuk mengambil bola. Sial buat saya, jempol saya kena pecahan kaca, total ada sekitar 20 jahitan. Tapi ya tidak kapok, sembuh ya main bola lagi.”
“Saya anak dari delapan bersaudara, 2 laki-laki. Kakak saya juga bermain sepakbola, tetapi tidak sampai profesional seperti saya. Hanya senang bermain saja.”
Memasuki SMP beliau mulai mendapat pemahaman tentang bagaimana teknik bermain sepakbola ketika memasuki salah satu klub lokal di Ambon,
“Klub pertama saya Pusparagam, klub itu menghasilkan banyak pemain bintang seperti : Nicky Putiray, Rocky Putiray, Ronald Pieterz, Berce Matuwapelwa, Jacob Sihasale, Dony Putiray (kakaknya Rocky).”
Meskipun masih muda (15 tahun) beliau kemudian pindah ke PS Ambon di sinilah bakat besar beliau terendus oleh Assyabaab.
“Waktu itu (1978) Assyabaab ke Ambon melawan PS Ambon, kebetulan saat itu saya adalah pemain termuda (PS Ambon). Karena permainan saya yang menonjol waktu itu, (Alm) Waskito yang juga kebetulan bersama rombongan melihat bakat saya.”
“Kemudian setelah saya lulus SMP saya menyusul ke Surabaya. Sampai di Surabaya saya ke Ampel melati ke tempat Pak Barmen. Saya punya target dalam setahun saya sudah harus jadi pemain Persebaya. Satu tahun pas, saya berhasil masuk Persebaya.”
Seperti halnya dengan rekan-rekan setim beliau seperti Muharrom Rusdiana, Budi Johannis yang menambah porsi latihan untuk meningkatkan kemampuan, hal yang sama dilakukan oleh Yongky Kastanya.
“Di Surabaya setiap pagi saya berlari dari Ampel ke Perak (pintu pelabuhan), diluar latihan rutin Assyabaab.”
“SMA saya di Pringadi (Bubutan), setelah lulus saya kuliah di UPN, cuma sampai semester 4. Waktu itu UPN juara nasional kemudian kami (tim sepakbola UPN) dikirim ke Malaysia.”
“Saat final (kejuaraan nasional) kami mengalahkan UKI Jakarta 2-1 padahal UKI Jakarta banyak diisi pemain nasional seperti Rully Nere, Jayadi Said. Mantan pemain Galatama semua.”
“Pulang ke Surabaya kami disambut bak pahlawan di Tambak Bayan (kampus lama UPN), berangkat ke Malaysia (1984) kami peringkat 3.”
 medali malaysia 1984
“Tahun 1980, saya memulai debut di Persebaya. Saat itu banyak turnamen-turnamen lokal seperti Surya Cup di Surabaya, Yusuf Cup di Ujungpandang, Fatahillah Cup di Jakarta, Tugu Muda Cup di Semarang, Siliwangi di Bandung dan Marah Halim di Medan. Dari turnamen-turnamen itu kami menambah jam terbang. Semua merasakan bermain melawan tim-tim besar perserikatan, mengenal cara bermain mereka. Dari situ mental kami sudah disiapkan untuk melakoni kompetisi perserikatan kelak. Namun sayang, semua turnamen itu sekarang sudah tidak ada.”
Padatnya turnamen membuat kemampuan beliau terasah, selain itu kekompakan tim tetap terjaga karena minim perombakan tim,
“Waktu itu tim tidak berubah selama dua tahun, jadi ada pengertian cara bermain antar pemain. Dari turnamen-turnamen tersebut muncul pemain-pemain hebat seperti Yusuf Bachtiar, Adjat Sudrajat (Bandung), saya, Helly Maura dan Budi Johannis (Surabaya), Ahmad Muharya, Syaiful Amri (Semarang). Mereka semua pemain hebat, jaman dulu masyarakat pasti kenal dengan nama-nama itu.”
“Dari Assyabaab saya langsung masuk tim senior, saya tidak pernah masuk tim junior, pelatihnya pak Hattu.”
Rasa cinta terhadap Persebaya memang menjadi nilai plus tersendiri, Yongky Kastanya menolak panggilan Timnas U23 karena lebih memilih memperkuat Persebaya,
“Saya pernah dipanggil seleksi timnas U23, tapi saya menolak karena saya lebih berat ke Persebaya, bagi saya Persebaya adalah segalanya.”
“Waktu persiapan kompetisi Nasional 1983 ada sekitar 200 – 300an pemain yang ikut seleksi, penjaringan sangat ketat.“
“Pernah dengar nama Parlin Siagian?, Juara bersama Kramayudha Tiga Berlian. Gelandang bagus, kurang bagus apa dia?, tetapi waktu ikut seleksi Persebaya dia tidak dapat tempat. Terbuang dari seleksi.”
“Ibnu Grahan khan baik, duduk main. Yusuf Ekodono bagus, tapi duduk manis di bangku cadangan. 13 tahun saya memperkuat Persebaya, selama itu saya tidak pernah jadi pemain cadangan bahkan tidak pernah cedera. Terakhir saya membela Persebaya di kompetisi 1993/1994, setahun sebelum liga Dunhill dimulai.”
Di usia yang sudah tidak muda lagi saat itu, 35 tahun, Nyong Ambon yang telah dianggap habis oleh masyarakat Surabaya kembali mendapat kesempatan memperkuat klub kebanggaannya,
“Di kompetisi 93/94 saya sempat diragukan, saat itu Muharrom cedera jadi tidak masuk tim, Putu (I Gusti Putu Yasa) sudah sibuk dengan pekerjaannya, Subangkit jadi cadangan tapi saya dengan Maura tetap jadi pemain inti.”
“Saat itu kita away ke Ujungpandang, mereka (masyarakat Surabaya) menganggap remeh saya, bisa apa Yongky sekarang?. Tapi kita kalahkan mereka 2-0, itu kemenangan pertama kita sejak 30 tahun di Mattoangin. Dulu, bahkan dengan skuad 87/88. Maksimal (hasil) imbang.”
“Penonton sampai di garis, dengan tekanan penonton yang luar biasa. Kami bisa kalahkan Ujungpandang dikandangnya sendiri.”
“Pelatihnya Solekan (pemain era 60an, satu angkatan dengan Andjiek Ali Nurudin), Managernya H Agil Ali, dia dijuluki manajer seribu kiat. Untuk mengurangi tekanan penonton kita pakai kostum kuning, Persebaya memakai kuning bukan hijau.”
“Ada dua tim yang saya anggap sulit dikalahkan PSM dan Bandung (Persib), makanya setelah kalahkan PSM di Ujungpandang. Kostum ini lalu saya simpan (sambil menunjukkan kostumnya).”
“Saya punya nomor punggung 17, buat saya hoki nomor bagus.”
“Setelah pulang dari Ujungpandang kita disambut bak juara, padahal baru satu pertandingan. Bahkan artis Eva Rosiana Dewi ikut menyambut kita di Juanda.”
“Agil Ali mengelabuhi penonton disana, orang sana hanya berpikir Persebaya pakai dukun. Khan biasa hijau kok pakai kuning.”
“Kita tidak berhenti di depan, kita turun di sentelban.”
“Sebelum bermain saya berpesan kepada pemain muda, agar bermain keras dengan PSM setelah emosinya terpancing kita sikat dia.Mereka emosi,kita main tik tak. Akhirnya kebobolan Makassar, kalah 2-0 dibakar semua.”
“Tahun 93/94 kami lolos ke semifinal di Senayan, waktu itu kami melawan PSM, saya ditarik Joko Malis (pelatih) dan merasa dongkol dalam hati karena saya merasa bermain bagus kemudian kami kalah.”
“Besoknya pelatih PSM Syamsudin Umar berkomentar di koran, “saya merasa senang setelah Yongky ditarik keluar.”
“Pelatih yang melatih dari awal adalah Pak Misbach, entah kenapa Joko Malis yang sebelumnya think tank (penasehat) bisa melatih pas di Senayan. Padahal menjelang akhir karir saya di Persebaya, saya ingin menyumbangkan gelar juara. Sayang, kami hanya peringkat tiga setelah mengalahkan Persija di Senayan.”
“Saya pernah memperkuat klub lain (BPD Jateng, Persegres) tapi hati saya selalu di Persebaya. Di BPD Jateng, saya masuk untuk memperkuat silaturahmi antara Jawa Timur dan Jawa Tengah. Bermain sebentar bersama BPD Jateng, sebelum kembali ke Persebaya. Ngak krasan disana. ”
“Awal liga Dunhill (94/95) saya memperkuat Persegres, setengah musim. Pak Waskito meminta saya membantu Persegres lolos dari degradasi. Dan Persegres lolos dari degradasi.”
 berkostum Timnas dan Persebaya
Final 1986/1987
Kepada tim bajulijo.net Yongky Kastanya bercerita tentang pengalaman final tahun 1986/1987 dan kekecewaannya ketika Persebaya dikalahkan PSIS di final,
“Perserikatan 1986/1987, saya absen di Senayan karena sakit. waktu itu Tambaksari dipugar lalu kita menginap di hotel Cendana, 2 minggu sebelum main kita sudah disitu.”
“Waktu itu (86) kami main lawan (PSM) Makassar, saya ijin ke Bang Muh (Barmen) dan pak Tianto Saputra (ketua Suryanaga).”
“Bang Muh saya tidak bisa Bang Muh, saya sakit. beliau menjawab : gak iso Yong, iki game penting, saat itu kami dituntut menang agar lolos.”
Meskipun tidak fit namun beliau tetap menunjukkan loyalitas terhadap klub dengan tetap memaksakan bermain, karena tim memang membutuhkan tenaganya.
“Waktu main badan saya sudah panas, habis main saya langsung ambruk di Budi Mulia (sekarang Siloam Hospital). Saya harus absen di Senayan. Kata dokter, liver saya sampai melebar dan harus istirahat satu bulan. waktu anak-anak masuk final saya diajak Pak Pur ke senayan nonton anak-anak,”
“Sayang difinal kami kalah, padahal sebelumnya gak ada tradisi kita kalah dari Semarang, karena saya absen Maura bekerja sendirian, tim jadi agak pincang.”
Absennya Yongky membawa dampak terhadap permainan Persebaya di partai puncak. Kehilangan tandemnya, Helly Maura bekerja lebih keras.
“Di tengah (Helly dan Yongky) dan kanan kami memang tak tergantikan, kalau dikiri gantian diisi antara Usman Hadi atau Rae Bawa. Kalau kanan sudah pasti milik Muharrom, dia (Muharrom) pemain kelas tidak ada pemain hebat seperti dia sekarang.”
“Kami bermain dengan formasi 4-4-2 sedikit modifikasi dengan libero, jadi tidak flat
“Duet ideal saya dengan Helly, kami saling melengkapi dan sering diskusi didalam maupun diluar (pertandingan). Jadi, pengertian diantara kami jadi terbentuk.”
 Persebaya 1986/1987
Final 1987/1988
Puncak karir beliau adalah ketika membawa Persebaya menjuarai kompetisi perserikatan tahun 1987/1988 setelah mengalahkan Persija di final yang berkesudahan dengan skor 3-2 untuk Persebaya. Sukses tersebut mencatatkan namanya sebagai salah satu pemain yang menorehkan tinta emas bersama Persebaya Surabaya.
Sebelum bercerita mengenai sepak terjang Persebaya di musim tersebut lebih jauh, Beliau menceritakan sebuah kisah yang membuat kami (bajulijo.net) kaget dan mengajarkan kepada kami arti kata RESPECT meskipun kepada tim lawan,
“Sebelum laga away di Ujungpandang, kami (skuad Persebaya) ziarah ke makam Ramang, meskipun Ramang adalah mantan pemain lawan namun kami tetap menghormati beliau sebagai pemain sepakbola nasional.”
Jawa Pos edisi 6 Nopember 1987
Sebelum bertanding melawan PSM, skuad Persebaya melakukan ziarah ke makan Ramang sekaligus mengunjungi rumah keluarga Ramang dan menyerahkan bantuan sebesar Rp. 250.000.- kepada keluarga Ramang. H Agil Ali berujar, “anak-anak merasa terpanggil untuk berkunjung dan berziarah ke makam Ramang, Beliau termasuk aset sepakbola nasional.”
Beliau kemudian menceritakan awal mula bergabung kembali dengan skuad Persebaya pada musim kompetisi perserikatan tahun 1987/1988,
“Pak Agil memanggil saya ke tim karena menganggap saya dan (Helly) Maura gelandang terbaik di Indonesia, apalagi dulu (87/88) waktu masih ada Budi (Johannis) dan Aries (Sainyakit), Rahmad Darmawan lawan kita di final pun mengakui.”
“Di final (88) saya mencetak gol penentu kemenangan, dari belakang saya overlaping kedepan, setelah dapat bola dari Syamsul (Arifin). Saya placing saja dan gol!.”
“Tapi yang dicatat oleh media adalah Mustaqim, temen-temen sempat protes tapi saya bilang biarlah gak usah dibesar-besarkan yang penting Persebaya juara.”
“Itu pertandingan (final lawan Persija) luar biasa, dari Surabaya ada ratusan bis dan bahkan carter pesawat. Melihat itu kami jadi terbakar, selama pertandingan hanya ada satu pergantian pemain yaitu ketika Usman Hadi diganti oleh Zaenal Suripto dimasa perpanjangan waktu.”
Beliau bercerita tentang suasana di kamar ganti bagaimana tim kepelatihan dan pengurus membakar semangat pemain Persebaya,
“Saat akhir 90 menit, kami bertekad bahwa extra time kami harus ambil.”
Iki sejarah, Persija ga onok ceritane menang ambek Persebaya, Yong yo opo koen iku adoh-adoh soko Ambon, ayo Yong!”, itu ucapan Bang Muh.
Pelatih beri instruksi, “Yong kamu nanti begini ya, kamu jaga itu dll.”
“Saat di Senayan aura juara kita sudah terlihat, bahkan pelatih Persija bilang jangan biarkan mereka serangan balik.”
Saat final terjadi pengerahan suporter secara besar-besaran yang dikoordinir oleh Jawa Pos, pengorbanan suporter yang jauh–jauh mendukung Persebaya di Senayan membuat pemain Persebaya semakin termotivasi. Kami pun menunjukkan atribut kaos tret tet tet kepada beliau untuk mengenang situasi tahun 88,
“Iya kaos ini, dulu mereka (suporter Persebaya) pakai kaos ini (sambil menunjuk kaos tret tet tet).”
“Kami menginap di Hotel Hasta, (hotel) Century belum dibangun. Begitu kami bangun tidur, sudah melihat banyak suporter tidur disekitar hotel. Kami jadi bersemangat dan terbakar, di Final tinggal digetno saja.”, sambil menepukkan kedua tangannya.
Kompetisi tahun 88 juga diwarnai kontroversi sepakbola gajah,
“Tahun itu ada skandal sepakbola gajah, itu sudah level (menunjukkan gestur mengangkat tangan).”
“Yang dimainkan pemain lapis kedua semua, Golongannya Ibnu, kipernya Edy Mujiarto sedangkan pemain intinya, saya, Budi, Muharrom gak main. Dan kita kalah 12-0.”
“Tapi kita jawab dengan gelar juara, kalau saja tidak juara pasti kita jadi kambing hitam.”
Media cetak mencatat ada 2 pertandingan terbaik musim itu selain melawan Persija pertandingan terbaik musim itu adalah ketika melawan Persib.
“Skor 3-3 kita cetak gol dia balas kita cetak dia cetak, ketika mereka cetak kita ketinggalan, di sini mental yang menentukan pemain lain bisa drop mentalnya tapi Persebaya tidak, kami bangkit dan membalasnya. Bola drive dari Muharrom setinggi lutut di sundul Syamsul Arifin dan masuk, itu (umpan) spesialis Muharrom.“
“Persib sama seperti kita punya banyak pemain bagus, Yusuf Bachtiar, Adjat Sudrajat, Sutiono, Robby Darwis. Dibanding dengan darwis saya kalah postur namun bisa menghalau Robby.”
“Waktu itu Roby membawa bola ketika salah satu kakinya belum menyentuh tanah saya senggol dia jatuh, karena saya tahu sebelum kaki jatuh ke tanah posisinya lemah, Robby tergeletak di lapangan.”
Yong kok iso,Yong? Orang kecil bisa kalahin orang besar.”, begitu jawab saya ketika ditanya teman-teman
 saat Final Perserikatan 1988
Tentang orang-orang yang berpengaruh
Kepada kami (tim bajulijo.net) Yongky Kastanya mengenang dan mengucapkan terima kasihnya kepada pihak-pihak yang berjasa membesarkan namanya di kancah sepakbola nasional, yaitu pelatih-pelatihnya dulu antara lain Kusmanhadi dan Misbach beliau berujar.
“Di klub (Assyabaab) saya diajari teknik dan tumbuh jadi pemain bagus, kemudian ditarik oleh Persebaya, pelatihnya Pak Kusmanhadi.”
“Pelatih Persebaya tinggal menyatukan saja, bahkan sebelum pertandingan kita bisa tukaran soal diskusi bola, kalau sudah begitu pelatih yang menenangkan. Pak Misbach punya kelebihan bisa ngemong dia menjadi bapak dari kita semua”
Selain Misbach dan Kusmanhadi beliau menyebut Bang Muh (Muh Barmen) sebagai sosok yang sangat berjasa dalam karir sepakbolanya
“Bang Muh punya kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, bahkan pak Agil pun belajar banyak dari Bang Muh, dan dia punya peran sangat besar dalam karir saya.”
“Beliau pandai memotivasi dan memainkan sugesti, misal ada pemain cedera sama Bang Muh diludahi kakinya sambil bilang ga opo opo iki.”
“Ada banyak pembina bola tapi tidak ada yang seperti Bang Muh, tidak ada.”
Manajer seribu kiat, H Agil Ali, memiliki intuisi yang sangat baik dalam membaca faktor psikologis para pemain. Sepanjang kompetisi 87/88, Beliau menerapkan metode-metode yang unik.
“Di Senayan ketika lawan PSMS, H Agil menyuruh pemain memakai putih agar tekanan (karena sepakbola gajah) publik ke PSMS. Persebaya yang identik dengan hijau, berganti putih. Hal yang tak lazim itu berbuah manis, publik yang jengkel sepakbola gajah melempari pemain PSMS yang dikira pemain Persebaya. Persebaya dengan putihnya mengalahkan PSMS, dua gol tanpa balas. Itu siasat H Agil untuk tim.”
“H Agil memang istimewa, di dalam pesawat ketika kami (tandang) ke Persipura, H Agil menulis puisi yang bercerita tentang seorang (maaf) pelacur yang bertobat setelah melihat Persebaya bermain, dia pulang ke desa dan bertobat dan diceritakan ketika briefing sebelum pertandingan.”
“Cerita itu membakar semangat anak2, kalau tidak salah kita menang waktu itu 2-0.“
 Persebaya 1988
Tentang suporter dan fanatisme
Selain bercerita tentang karir sepakbolanya beliau juga bercerita soal suporter Persebaya dan fanatismenya, baginya suporter merupakan faktor penting dalam sepakbola
“Saya kalau dulu main di Tambaksari, tidak ada cerita draw apalagi kalah. Menang, wis ta Menang. Kita Persebaya, tim besar.”
“Bikinlah Gelora (Tambaksari) menjadi stadion angker buat tim-tim lawan, sekarang sudah ngak ada. Tim lawan main di Tambaksari sudah tidak takut, dulu main di Tambaksari mikir.”
“Dulu pemain-pemain lawan sudah mikir jika akan (bermain) ke Tambaksari. Belum lagi penonton segitu banyak. Sekarang,tidak ada.”
“Anda lihat main bola sekarang, saya elus dada. Dengan bayaran begitu hebat,kontrak besar. Main tak tok, kapan cetak golnya?.”
“Fanatiknya tidak ada, label (Persebaya) didada ini harus dibela mati-matian. Kalau sekarang nggak ada.”
“Orang datang nonton bola apabila tim itu menang, orang akan tidak datang kalau sering draw apalagi kalah.”
“Mau menang caranya bagaimana? Pemain punya tanggung jawab, rasa fanatik harus ada. Dari menit ke menit tidak boleh ada yang bermain tempo rendah, ngak ada get no ae.”
“Semangat main harus ada, ini engga orang bawa bola dibiarkan. Kayak orang jantung sehat, khan repot iki. Malah ada yang nonton.”
“Kalau kita dulu enggak, semua siap. Surabaya senengnya khan itu, langsung serang balik dengan kecepatan.”
“Saya lihat tidak cepat main bola sekarang. Dulu naik (menyerang) baik, turun (bertahan) baik.”
“Kita pernah mencetak gol hanya dengan 3 sentuhan, bola dari Putu ke Muharrom, kemudian diteruskan ke Syamsul dan gol.”
“Penonton datang khan untuk melihat hiburan, bukan datang lihat kamu kalah.”
“Jika mereka datang ke stadion hanya untuk berbuat ulah, sebaiknya jangan pergi daripada bikin jelek nama Persebaya.”
Beliau juga berpesan kepada Bonek agar terus menunjukkan citra positif di masyarakat dan memperbaiki citra negatif yang selama ini seolah menjadi stigma di masyarakat
“Bonek harus berbenah diri, kalau lawan lebih baik harus mengakui, harus belajar dewasa dalam nonton bola. Kalau pergi nonton bola hanya untuk ikut-ikutan atau motif lain sebaiknya jangan.”
“Pernah kejadian waktu Koko Sunaryo (kiper) gagal menangkap bola dan gol, penonton yang meluber di sentelban menyuruh kiper diganti. Koko Sunaryo diantar suporter ke bench Persebaya, minta agar Koko diganti. Pergantian pemain oleh suporter bukan pelatih.”

                                       bersama piala juara kompetisi perserikatan 1988
Tentang pembinaan
Meskipun sudah tidak aktif sebagai pemain, Yongky Kastanya tetap menaruh perhatian besar terhadap pembinaan pemain muda, pelatih Bajulijo U-19 ini bertutur
“Sekarang maunya instan, kalau mau berprestasi harus sabar, kalau mau bikin tim bagus di 2014 mulainya harus sekarang (2012), masa pembentukan tim harus sabar.”
“Jangan asal datangkan pemain asing dan lokal yang kualitasnya tidak lebih bagus dari pemain hasil binaan internal Persebaya.”
“Lihat Fasta dia pemain baik, tapi yang dipilih Rivelino, kenapa tidak pakai pemain binaan sendiri?.”
“Pemain lokal (binaan Internal Persebaya) banyak bagus kenapa ambil pemain dari luar, pemain luar tidak punya rasa memiliki (Persebaya). Tetapi semua tinggal ke pengurus, berani tidak?.”
“Pemain internal itu gak usah gaji tinggi 7,5 jutaan cukup, tapi semangatnya fanatiknya itu yang kita cari.”
“Selama saya mendampingi bajul ijo (Persebaya u-19), saya belum pernah melihat tim kepelatihan (Divaldo, Ibnu Grahan dll) memantau kami ketika bertanding. Harusnya mereka melihat untuk memantau pemain muda.”
 GREEN FORCE 86
Tentang pemain sekarang
Selanjutnya kami bertanya kepada beliau tentang kondisi pemain sepakbola (lokal) saat jika dibandingkan dengan kondisi saat beliau masih aktif sebagai pemain
“Sekarang semua terlalu berlebihan, Andik (Vermansah) kayak Messi? Jangan begitu dia masih muda, biarkan dia tumbuh. Dia khan aset kita jadi harus kita lindungi jangan terlalu dibesar-besarkan, kalau mau jujur Boaz (Salossa) masih lebih baik.”
“Dulu kita punya Waskito, Sucipto “Gareng” Soentoro, Abdul “Kancil” Kadir mereka adalah Asia star, kalau pemain sekarang Asia Tenggara ae gak nutut.”
“Andik, Messi Indonesia? Dulu ada Elly Rumaropen , Leo Kapisa. Mereka ini pelari-pelari 100 meter, atlit nasional. Andik gak ono opo-opone, speed mereka ini luar biasa. Pak Bodro pernah ditendang Leo Kapisa, dan semaput.”
“Pemain asing terbaik hanya dua, yaitu Jacksen F Tiago dan Carlos De Mello, itu saja yang bisa jadi panutan. Kalau pemain muda yang cara bermainnya dewasa saya lihat ya Eggy (Melgiansyah).”
“Soal Barisic, Itu yang salah yang ngambil. pemain seperti dia (Barisic) kok diambil? Dibanding karo Syamsul Arifin yo adoh mas, Parlin Siagian saja tidak masuk seleksi, Ibnu (Grahan) dan Yusuf (Ekodono) saja jadi cadangan.”
Wes main elek, dapat bola elek, tidak bisa cetak gol, apa yang bisa dibanggakan sama Barisic? saya tidak salahkan Barisic, yang salah itu yang ngambil Barisic.”
“Kenapa pemain seperti dia diambil, itu yang salah yang ngambil. Sepakbola itu semua harus jujur, pemain harus jujur, pengurus harus jujur maka tim akan sukses.”
“Pemain sekarang sudah dibayar mahal tapi kualitasnya gala desa, ciri khas permainan Persebaya dari dulu itu cepat dan ngeyel, kalau pemain sekarang dibandingkan dengan dulu ya jauh, dulu (tahun 80an) sekali latihan kami dibayar Rp. 1.500,- an,”
“Saya tidak suka nonton Persebaya sekarang, jujur saya tidak suka saya melihat mereka (pemain) tidak punya kebanggaan membawa nama Persebaya, saya lebih suka melihat yang junior-junior saja.”
“Saya sampai miris kalau Persebaya kalah sama tim di telinga aneh kayak Persibo, Padang. mereka itu siapa??? Barometer itu ada 5 Jakarta, Surabaya, Bandung, Ujungpandang dan Medan.”
“Pemain dulu tidak manja, melawan Persiba saya sempat dipukul oleh Jony Ririn di ulu hati. Bang Muh sampek lari ke lapangan dan bilang, Yong ganti? Saya bilang tidak.”
“Pemain sekarang cengeng mas, mau mukul tapi takut dipukul, kalau dulu tidak. Prinsip saya kalau sudah mbela Persebaya nyawa itu ditaruh, sekarang dibayar mahal tapi main kayak gitu. Jaman saya pemain kayak Bambang Pamungkas sudah gak masuk (tim).”
“Lihat pemain sekarang kontrak miliaran, fasilitas bagus tapi main masih kayak begitu, pemain sekarang yang memiliki semangat ala Persebaya paling cuman Andik Vermansah. Dulu kami bermain seperti itu, pressing ketat, main cepat dengan semangat tinggi pokoknya tas tes tas tes.”
 Aku Yongky Kastanya
Tentang ritual dan sportifitas
Setiap pemain sepakbola punya kebiasaan unik menjelang pertandingan begitu juga anggota skuad Persebaya’88 termasuk Yongky Kastanya,
“Saya tidak punya ritual seperti teman-teman, saya hanya percaya Tuhan, biar Tuhan yang ngatur, bahkan pak Mangindaan selalu mengajak kami (Yongky, Maura dan Aries) ke gereja pagi sebelum pertandingan.”
“Paling-paling sehari sebelum pertandingan saya makan sate 20 tusuk untuk energi besoknya.”
“Yang paling percaya dengan begituan si Syamsul, pernah saya menggoda Syamsul. Ketika Syamsul memasukkan kacang hijau di kaus kakinya saya berkata, Sul gawe opo? Gak keberatan nanti kalau kamu loncat?.”
“Saya hanya percaya Tuhan dan meminta perlindungan dari tuhan, saya selama 13 tahun tidak pernah diberi cedera, padahal saya tipe pemain keras. Pernah waktu main di Citarum Semarang, saya “menghajar” Ribut Waidi sampai pagar pembatas, tapi setelah itu ya salaman seperti biasa.”
Meskipun memiliki kondisi fisik yang tidak terlalu menonjol beliau tetap ngeyel menjaga daerah, kengeyelan itu sangat efektif dalam merusak permainan lawan atau mematikan pergerakan lawan,
“Walaupun kecil saya kuat disini (dua kakinya) sama seperti Budi (Johannis), saat melawan Perseman saya “dikorbankan”. Saat itu Perseman sedang bagus-bagusnya ada Yohannes Kambuaya, Max Krey, Adolf Kabo, Jonas Sawor. Pak Barmen bilang , Yong,yo opo carane Jonas iso keluar.”
“Begitu main di melewati saya, lalu saya tackle tepat di mata kakinya, dia tergeletak kesakitan begitu bangun dia mau pukul saya, saya bilang silakan sambil memajukan wajah saya, dia pukul saya lalu dapat kartu merah, kamipun bisa mengatasi 10 pemain Perseman.”
                                                     bersama kostum bersejarah
Tentang perlakuan klub terhadap mantan pemain
Sepertihalnya ketika kami mewawancarai para pemain legenda Persebaya, kami menanyakan sejauh mana perhatian klub (Persebaya) saat ini kepada beliau.
“Persebaya tidak pernah mengundang saya ke stadion, saya tidak apa-apa. Yang penting saya pernah berbuat sesuatu untuk Persebaya, saya berbuat yang terbaik untuk Surabaya. Sejarah telah mencatat, yang penting anak-anak saya bangga.”
“Sekarang saya diberi kesempatan melatih bajul ijo (Persebaya u19), saya berterimakasih sudah diberi kesempatan.”
                                                bermain untuk Persegres gresik
Tentang laga Persema kontra Persebaya (22/4)
Beliau juga memberikan prediksinya terhadap laga antara Persema vs Persebaya kemarin yang akhirnya dimenangkan oleh persema dengan skor 2-1
“Kalau saya lihat perjalanan Persebaya, draw saja sudah bagus (lawan persema) karena kita main di stadion orang.”
 medali juara kompetisi 1987/1988
Nama : Yongky Kastanya
Tempat/tanggal lahir : Ambon / 7-2-1971
Tlnggi/berat badan : 162 cm / 58 kg
Ayah : M Kastanya (Alm)
Ibu : Yohana
Istri : Shierly S Kastanya
PRESTASI :
1976 : Klub Puspa Ragam Ambon
1976 : PSA Ambon
1979 :Assyabaab Surabaya
1981 : Persebaya di Piala Yusuf Ujungpandang
1983-1984 : Persebaya divisi utama (nomor III)
1986-1987 : Persebaya divisi utama runner up
1987-1988 : Persebaya divisi utama juara
1993-1994 : Persebaya Liga dunhill nomor III

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More